Rabu, 11 Januari 2012

ekman

Bencana alam adalah konsekwensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas manusia. Karena ketidakberdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka[1]. Pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan: "bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan". Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam" juga ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia.
Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak yang hebat/luas jika manusia yang berada disana memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan valuasi kemampuan sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah & menangani tantangan-tantangan serius yang hadir. Dengan demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketetahanan terhadap bencana yang cukup. {http://setawiriawan.blogspot.com/2007/12/pengertian-bencana-alam.html}

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia definisi bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar.
Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.
Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa merubah pola kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak, menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur sosial masyarakat, serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar (BAKORNAS PBP).
Jenis Bencana
Usep Solehudin (2005) mengelompokkan bencana menjadi 2 jenis yaitu:
1. Bencana alam (natural disaster) yaitu kejadian-kejadian alami seperti kejadian-kejadian alami seperti banjir, genangan, gempa bumi, gunung meletus, badai, kekeringan, wabah, serangga dan lainnya.
2. Bencana ulah manusia (man made disaster) yaitu kejadian-kejadian karena perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan, kebakaran, huru-hara, sabotase, ledakan, gangguan listrik, ganguan komunikasi, gangguan transportasi dan lainnya.
Sedangkan berdasarkan cakupan wilayah, bencana terdiri dari:
1. Bencana Lokal
Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang berdekatan. Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-bangunan disekitarnya. Biasanya adalah karena akibat faktor manusia seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran bahan kimia dan lainnya.
2. Bencana Regional
Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis yang cukup luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor alam, seperti badai, banjir, letusan gunung, tornado dan lainnya.
Fase-fase Bencana
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu fase preimpact, fase impact dan fase postimpact.
1. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
2. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.
Artikel Definisi Bencana ini diambil dari http://net-asia.net/Definisi Bencana.html. Untuk melihat daftar pustaka silahkan masuk ke http://net-asia.net
Secara definisi, bencana adalah suatu situasi dimana cara masyararakat untuk hidup secara normal telah gagal sebagai akibat dari peristiwa kemalangan luarbiasa, baik karena peristiwa alam ataupun perbuatan manusia .

Indonesia adalah negeri yang rawan dan rentan terhadap bencana, baik yang berasal dari alam maupun yangterjadi akibat perbuatan manusia. Dalam tujuh tahun terakhir, 2000 – 2006 terjadi 392 kali bencana banjir dan longsor di seluruh Indonesia kecuali Papua, Jakarta dan Ibukota Propinsi lainnya. Korban jiwa mencapai 2.303 orang, lebih dari 188.000 rumah rusak berat dan sekitar setengah juta hektar lahan rusak berat dan tidak dapat digunakan. Total kerugian langsung mencapai 36 triliun rupiah dan kerugian tidak langsung mencapai 144 . Angka ini setara dengan 2,80 persen APBN 2007.

Tabel 1. Kejadian banjir dan longsor 2000 – 2006

Kartodihardjo dan Jhamtani menyebut hal ini sebagai bencana pembangunan, yang didefinisikan sebagai gabungan faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, yang diperburuk dengan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial. Bencana seperti banjir, kekeringan dan longsor sering dianggap sebagai bencana alam dan juga takdir. Padahal fenomena tersebut, lebih sering terjadi karena salah urus lingkungan dan aset alam, yang terjadi secara akumulatif dan terus-menerus.

Di pesisir Jawa, pada kurun waktu 1996 hingga 1999 saja, setidaknya terdapat 1.289 desa terkena bencana banjir. Jumlahnya semakin meningkat hampir 3 kali lipatnya (2.823 desa) hingga akhir tahun 2003, yang juga merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut (dimana 80% industri di Pulau Jawa berada disepanjang pantai utara Jawa).

Selain banjir, kekeringan adalah bencana lain yang semakin kerap terjadi di Indonesia. Belakangan ini musim kemarau di Indonesia semakin panjang dan tidak beraturan, meski secara geografis dan alamiah Indoensia berada di lintasan Osilasi Selatan-El Nino (ENSO). Misalnya, walau kemarau 2003 termasuk normal, namun tercatat 78 bencana kekeringan di 11 propinsi, dengan wilayah yang terburuk dampaknya adalah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dampak kekeringan yang utama adalah menurunnya ketersediaan air, baik di waduk maupun badan sungai, yang terparah adalah pulau Jawa. Dampak lanjutannya adalah pada sektor air bersih, produksi pangan serta pasokan listrik. Kekeringan juga terkait dengan kebakaran hutan, karena cuaca kering memicu perluasan kebakaran hutan dan lahan serta penyebaran asap.

Dampak dari bencana tersebut bukan hanya pada korban jiwa dan benda, namun berdampak pula pada produksi pertanian, tercemarnya sumber air serta masalah sosial yang lebih luas seperti pengungsi dan migrasi penduduk. Walaupun kekerapan bencana meningkat secara signifikan beberapa tahun terakhir ini, pemerintah tidak melakukan kajian menyeluruh mengenai pola dan penyebab bencana tersebut.

Ancaman signifikan terjadi pada tiga sektor utama prasyarat keberlanjutan kehidupan, yaitu air, pangan dan energi. Untuk air, ancaman terbesar berasal dari meningkatnya permintaan secara signifikan dan semakin terbatasnya ketersediaan air layak konsumsi. Keterbatasan tersebut berasal dari menurunnya kualitas air (yang disebabkan oleh pencemaran, intrusi dan kerusakan pada sumber air) serta kuantitas air (akibat privatisasi, komodifikasi air serta ineffisiensi distribusi). Di Jakarta misalnya, warga yang terhubungkan dengan jaringan Perusahaan Air Minum (PAM) berjumlah kurang dari 51 persen dari jumlah keseluruhan warga. Akibatnya, sebagian besar warga mengambil air tanah (sumur, atau pompa) dan juga membeli air minum kemasan atau penjual air keliling. Padahal, sekitar 70 persen air tanah di Jakarta menunjukkan kondisi tidak layak sebagai air minum yang diperbolehkan. Akibatnya air berubah esensinya dari kebutuhan dasar menjadi komoditi.

Situasi serupa juga terjadi dengan pangan. Hilangnya kedaulatan rakyat pada pangan berujung pada kasus kelaparan dan gizi buruk. Di NTT, ada 13 ribu lebih balita kurang gizi, sebanyak 36 diantaranya meningggal dunia. Kualitas sumber daya manusia Indonesia (IPM) berada di urutan 111 dari 177 negara (UNDP, 2004).

Laut Indonesia yang begitu luas, dipastikan mampu menjadi penyumbang terbesar perikanan laut di dunia, dengan menyediakan 3,6 juta ton dari produksi perikanan laut secara keseluruhan pada tahun 1997 (Burke, et all, 2002). Ironinya, di tingkat nasional, konsumsi ikan hanya berkisar 19 kg/kapita/tahun, lebih rendah dari Vietnam maupun Malaysia yang tingkat konsumsinya mencapai 33 kg/kapita/tahun. Nelayan merupakan golongan masyarakat termiskin di Indonesia dan makin terpinggirkan dari waktu ke waktu.

Revolusi hijau telah menghilangkan 75% dari 12.000 varietas padi lokal dan melahirkan ketergantungan baru pada pupuk dan pestisida kimia dari perusahaan-perusahaan asing. Keragaman hayati lokal dan ketahanan pangan rontok. Negara kita menjadi pengimpor beras murni sejak pertengahan 90an. Liberalisasi perdagangan mengubah fungsi pangan yang multi dimensi menjadi sekadar komoditas perdagangan. Bahkan WTO mengartikan ketahanan pangan sebagai “ketersediaan pangan di pasar”. Konsep ini dalam praktiknya memaksa rakyat di negara-negara sedang berkembang untuk memenuhi pangan yang akan dipenuhi oleh negara-negara maju melalui mekanisme pasar bebas, yang berujung pada malapetaka pangan di berbagai tempat.

Kedaulatan energi pun dipertaruhkan. Perusahaan-perusahaan lintas negara (Transnational Corporations atau TNC’s) telah menyedot 75% cadangan minyak kita hingga hari ini. Sementara 58% total produksi gas bumi dan 70% batubara pertahun terus di ekspor. Sementara itu, 90% kebutuhan energi rakyat Indonesia dibuat bergantung kepada BBM dan 45% rumah tangga belum dapat mengakses listrik. Tak pernah ada strategi nyata untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM. Yang justru dilakukan adalah dorongan untuk mengkonsumsi terus menerus yang menguntungkan segelintir orang.

Sementara itu pilihan atas energi murah, mudah diakses, dan bersih telah menjadi pilihan yang amat langka. Saat ini ketika negara takluk pada diktasi pasar bebas, rakyat yang sudah sedemikian tergantung dipaksa untuk membeli energi dengan harga pasar dunia. Kenaikan harga BBM, menurut sejumlah penelitian meningkatkan kemiskinan hingga 11 %. Total rakyat miskin di Indonesia setelah lonjakan kenaikan BBM menjadi 41%.

Kenaikan harga barang-barang konsumsi, daya beli yang rendah, tidak tersedianya lapangan pekerjaan bukan saja meningkatkan jumlah penduduk miskin. Di sisi yang lain banyak liputan media menunjukkan perubahan pola konsumsi terutama perempuan dan anak-anak. Rakyat terpaksa bersiasat mengurangi asupan gizi demi membeli minyak tanah.

Kemudian, berkurangnya lapangan pekerjaan ditambah naiknya harga barang yang dipicu mendorong rakyat ikut serta merusak lingkungan demi sesuap nasi. Maraknya keterlibatan rakyat dalam pertambangan illegal yang merusak lingkungan di Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Papua adalah fakta gagalnya negara menjamin penghidupan warganya.

Dari fenomena diatas, aspek penting untuk diperhatikan adalah pola perusakan ekologi dan pola iklim. Untuk krisis air misalnya, Jawa-Bali diprediksi akan segera mengalami krisis. Namun fenomena ini tidak dijadikan pelajaran oleh daerah lain, seperti Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi yang sudah semakin sering mengalami krisis air. Pada musim kemarau kita selalu kekurangan air dan pada musim hujan kita kebanjiran, ini mengindikasikan bahwa semua infrastruktur yang dibuat untuk merekayasa lingkungan telah gagal, karena sumber masalah tidak ditangani dengan sungguh-sungguh. Krisis demi krisis akibat salah urus ini kemudian berujung pada bencana ekologis yang kian nyata terlihat.

Bencana ekologis itu sendiri merupakan sebuah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam yang telah mengakibatkan kolapsnya pranata kehidupan masyarakat . Saat ini keberlanjutan Indonesia berada dititik kritis karena bencana ekologis yang terjadi secara akumulatif dan simultan di berbagai tempat, tanpa ada upaya yang signifikan untuk mengurangi kerentanan dan kerawanan masyarakat terhadap dampak bencana ekologis.
TANDA-TANDA UTAMA BENCANA EKOLOGIS
Secara umum, bencana ekologis ditandai dengan beberapa gejala atau tanda yang dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti:
1. Ketiadaan pilihan untuk bertahan hidup
2. Gagalnya fungsi ekosistem
3. Menurunnya kualitas kehidupan yang berwujud pada ketersingkiran dan kemiskinan
4. Pada titik ekstrim, berujung pada kematian
BENCANA EKOLOGIS DISEKTOR KEHUTANAN
Pada sektor kehutanan, bencana ekologis dimaksud menyebar ke segala aspek kehidupan manusia, terutama yang berdekatan dengan sumberdaya alam hutan. Seluruh tanda dan prasyarat bencana ekologis dapat ditemui dalam sektor kehutanan.

Sebaai contoh, masyarakat yang hidup di sepanjang Sungai Siak adalah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Hampir seluruh kebutuhan akan sandang, pangan dan papan dapat dipenuhi dan ditopang dari hasil yang mereka peroleh dari sungai tersebut. Bahkan Istana Kerajaan Siak dan Mesjid Agung pun berada disepanjang sungai ini. Hubungan antara sungai dengan kehidupan masyarakatnya sangat tinggi. Puluhan rumah berjejer disepanjang sungai dan menghadap sungai tersebut. Itu dulu.

Pada tahun 1980an, geliat industri di Propinsi Riau kemudian mendorong pembangunan sejumlah pabrik berskala nasional di sepanjang Sungai Siak. Lebih dari 70 industri pengolahan (kelapa sawit, minyak, kayu, kimia-thinner, pulp and paper dan industri pengolahan lainnya) tegak berdiri dan membuang limbahnya di sungai siak. Pembangunan industri dan pembuatan jalan untuk mendistribusikan hasil-hasil industri tersebut kemudian mendorong masyarakat yang tinggal disepanjang sungai siak merubah arah rumah mereka dari menghadap sungai kemudian membelakangi sungai . Perubahan orientasi rumah turut merubah budaya masyarakat dalam pengelolaan sampahnya. Bila sebelumnya sampah dikumpul dan dibuang disatu tempat selain disungai, perubahan orientasi mendorong masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Siak untuk membuang limbahnya lansung ke sungai.

Tidak terkontrolnya buangan dari masing-masing pabrik dan tidak berjalannya penegakan hukum kemudian mendorong pencemaran dalam skala yang hampir tidak terbayangkan. Secara fisik, sungai menjadi berbau dan kematian ikan sering terjadi. Masyarakat kemudian mencoba mencari ikan menjauh kearah hilir atau hulu ketika air pasang. Ketika alat tangkap yang digunakan tidak lagi mampu mengarungi jarak sungai dan jumlah tangkapan juga jauh berkurang, masyarakat nelayan tersebut mencoba merubah mata pencahariannya menjadi petani disepanjang sungai.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejumlah industri pengolahan tersebut membutuhkan lahan dalam jumlah besar untuk memastikan ketersediaan bahan baku. Pertimbangan jarak tentunya menjadi alasan mengapa kemudian pengembangan konsesi tersebut ditempatkan disepanjang daerah aliran sungai. Tidak adanya kompensasi yang memadai bagi masyarakat oleh pemerintah dan perusahaan pada akhirnya membuat masyarakat berada pada posisi terjepit.

Dari kelompok masyarakat yang sejahtera pada masa Kerajaan Siak dahulunya, masyarakat Siak berada pada titik kemiskinan yang tinggi. Penyakit kulit/gatal/kudisan adalah hal yang mudah ditemui. Masyarakat tidak mempunyai pilihan sama sekali untuk meningkatkan kesejahteraan. Ada pilihan untuk bekerja sebagai buruh namun tingkat pendidikan dan kemampuan yang dimilikinya tidak memungkinkan mayarakat untuk mendapatkan pemasukan yang cukup. Sebagian masyarakat kemudian memilih bekerja sebagai buruh kasar di berbagai negara. Sisanya memilih untuk menetap dengan tingkat kesejahteraan yang menyedihkan, sarana kesehatan dan air bersih yang sangat jauh dari mencukupi yang kemudian menghilangkan kesempatan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang cukup.

Pembangunan disepanjang Sungai Siak pada akhirnya meciptakan krisis lingkungan yang ditambah dengan perusakan sumberdaya alam dan ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial. Masyarakat Siak adalah gambar gamblang dari bencana ekologis. Masyarakat Siak sampai pada posisi ketiadaan pilihan untuk bertahan hidup. Gagalnya fungsi ekosistem tidak dapat lagi mendukung kehidupan masyarakat. Kualitas kesejahteraan menurun drastis berikut dengan kesehatan dan pendidikan.

Bencana Ekologis

Bencana ekologis adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam yang telah mengakibatkan kolapsnya pranata kehidupan masyarakat.

Saat ini keberlanjutan Indonesia berada dititik kritis karena bencana ekologis yang terjadi secara akumulatif dan simultan di berbagai tempat, tanpa ada upaya yang signifikan untuk mengurangi kerentanan dan kerawanan masyarakat terhadap dampak bencana ekologis.

Tanda-Tanda Bencana Ekologis
Pertanda bencana ekologis justru ada didepan mata dimana masyarakat sebagai stakeholder utama dan lingkungan hidup berada pada kondisi:

1. Ketiadaan pilihan untuk bertahan hidup
Pada banyak tempat, komunitas masyarakat sampai pada ketiadaan pilihan untuk bertahan hidup. Komunitas Melayu yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian di sepanjangan Daerah Aliran Sungai Siak harus merubah mata pencahariannya ketika puluhan perusahaan konsesi kehutanan menyerobot alih lahan-lahan masyarakat. Masyarakat kemudian beralih menjadi nelayan sungai. Berdirinya industri pengolahan disepanjang Sungai Siak ditambah kegagalan pemerintah dalam mengatur buangan limbah membuat sungai tercemar sehingga hasil tangkapan menurun drastis. Ketiadaan pilihan tersebut pada akhirnya membuat sebagian besar masyarakat melayu yang berada disepanjang Sungai Siak bermigrasi ke daerah lain sebagai buruh pekerja sedangkan sebagian kecilnya tetap bertahan sambil mengharapkan bantuan dari sanak saudara yang bekerja ke Malaysia, juga sebagai buruh.

2. Gagalnya fungsi ekosistem
Kegagalan fungsi pemerintah mematuhi deregulasinya menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi ekosistem. Banyak perkebunan-perkebunan skala besar, Hak Pengusahaan Hutan maupun industri tambang yang menyerobot wilayah masyarakat yang selama ini telah menciptakan simbiosis mutualisme dengan ekosistem sekitarnya, memasuki daerah tangkapan air, memotong home range spesies yang dilindungi,dll. Industri-industri tersebut kemudian menjadi parasit bagi ekosistem sekaligus memperlemah ekosistem yang ada. Pada satu titik, kegagalan ekosistem tersebut kemudian harus dibayar dengan sejumlah bencana banjir, longsor, hama baru, malaria, konflik satwa dengan manusia, dll.

3. Ketersingkiran
Kebijakan negara yang tidak mengakui hak-hak masyarakat lokal membuat
ratusan komunitas harus menyingkir dari tanahnya sendiri ketika industri-industri berskala besar dukungan pemerintah mengambil alih tanah-tanah mereka. Hingga hari ini, konflik-konflik kepemilikan lahan masih terus berlangsung tanpa satupun memberikan indikasi yang positif terhadap hak-hak masyarakat terhadap kepemilikannya.


4.Kemiskinan
Disebutkan bahwa pembangunan industri-industri berskala besar tersebut ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat. Fakta yang ditemui malah justru bertolak belakang dengan jargon tersebut. Menarik bila dilihat bahwa justru kantong kemiskinan terbanyak malah jutsru paling banyakdi daerah-daerah yang kaya dengan sumberdaya alam.Di Sumatera, 64 persen masyarakat miskin malah justru berada di sekitar konsesi-konsesi perkebunan dan kehutanan. Di kawasan industrinya sendiri banyak ditemukan para buruh yang dipaksa untuk bekerja 18 jam sehari dengan bayaran yang hanya bisa memenuhi kebutuhannya sampai dengan akhir bulan. Penyakit kurang gizi adalah satu hal yang lumrah dan bisa disaksikan dimana-mana.

5. Kematian
Pada akhirnya kegagalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan ketidakmampuannya menjamin fungsi-fungsi ekologis telah menciptakan sejumlah tragedi yang mengambil korban nyawa. Dalam tujuh tahun terakhir hampir tujuhratus orang meninggal dunia dengan sia-sia akibat bencana banjir dan longsor yang disebabkan kegagalan fungsi ekosistem. Ribuan lainnya harus mengulang kehidupannya dari awal.

PRA-SYARAT untuk menyelamatkan INDONESIA dari bencana ekologis
Untuk menahan dan mengurangi laju bencana ekologis yang lebih luas maka diperlukan beberapa pra-syarat, sebagai berikut:
1. Reorientasi visi pembangunan dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi masyarakat berkelanjutan (sustainable societies)
2. Mengedepankan pendekatan bioregion dan meninggalkan paradigma sektoral dalam pengelolaan aset alam dan wilayah.
3. Menyelesaikan konflik agraria dan sumberdaya alam, diikuti dengan reforma agraria sejati
4. Mengembangkan partisipasi sejati rakyat dalam pembangunan dengan indikator organisasi rakyat yang kuat, kritis dan mandiri
5. Membangun resiliensi dan resistensi rakyat terhadap privatisasi dan komodifikasi sumber kehidupan
6. Mengakui kearifan lokal pengurusan sumber-sumber kehidupan dan mendudukkan kembali peran negara sebagai penjamin hak konstitusional warganegara


Paper ini merupakan konsep dasar WALHI tentang bencana ekologis
bagaimana problem solving yang ditawarkan WALHI... akan disampaikan dalam tulisan berikutnya..

terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA(http://bencanaekologis.blogspot.com/2007/04/bencana-ekologis-dan-keberlanjutan.html)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar