Rabu, 11 Januari 2012

jurnal ekman

Dinamika SosioEkologi Pedesaan: Perspektif dan Pertautan
Keilmuan Ekologi Manusia, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik
Arya Hadi Dharmawan1
Ringkasan
Perkembangan bidang keilmuan ekologi‐manusia, sosiologi lingkungan, dan ekologi‐politik dipandang
sangat impresif, selama dua dekade terakhir. Sekalipun berjalan tidak linier, transformasi ekologi‐manusia
menjadi sosiologi‐ekologi‐manusia (sosiologi lingkungan) telah mendorong munculnya ekologi‐politik
sebagai bidang keilmuan baru untuk melengkapi dua bidang sebelumnya. Sekalipun memiliki akar
epistemologis yang sama, namun ketiga bidang studi tetap bekerja pada “wilayah keilmuan” yang
otonom. Sebagai bidang kajian paling mutakhir, ekologi politik dapat dikatakan sebagai bidang keilmuan
yang mengambil manfaat paling besar atas dua bidang keilmuan sebelumnya yaitu sosiologi‐ekologimanusia
dan antropologi budaya (cikal‐bakal human ecology). Dari perspektif lain, bidang kajian ekologi
politik berkembang sebagai konsekuensi kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh sistem ekologi planet
bumi, dimana relasi manusia dan alam berlangsung relatif rumit dan saling menegasikan satu sama lain.
Manakala aspek kekuasaan (power), konflik kepentingan, dan kekuatan‐kekuatan ekonomi‐politik harus
diperhitungkan, maka ekologi‐politik lebih mampu membedah persoalan yang tidak dapat dianalisis oleh
ekologi manusia. “Dinamika konflik sumberdaya alam dan lingkungan” serta “olah kekuasaan pemangku
kepentingan” menjadi fokus kajian ekologi politik saat ini. Dengan makin rumitnya dimensi persoalan
ekologi dan lingkungan di abad 21, maka kerjasama para ahli dari ketiga cabang ilmu di atas makin
diperlukan.
Katakunci: antropologi budaya, ekologi manusia, ketimpangan pertukaran, sosiologi lingkungan,
kapitalisme, krisis ekologi, risksociety, konflik sosial, olahkekuasaan, ekologipolitik.
1. Pendahuluan
Tulisan ini hendak mengulas serba ringkas perjalanan hadirnya bidang ilmu
pengetahuan (the generation of scientific knowledge) ekologi manusia, dan
perkembangannya (evolutionary development) menjadi sosiologi lingkungan, hingga
terbangunnya kajian ekologi politik. Telaah atas kemunculan dan perkembangan kajian
ekologi manusia sebagai sebuah bidang‐keilmuan dalam ilmu sosial akan ditinjau
secara filsafati baik dari sisi epistemologis2 (sejarah perkembangan keilmuan), sisi
1 Dosen mata kuliah Ekologi Manusia (S1/S2) serta mata kuliah Ekologi Politik pada jenjang S3 Program Studi Sosiologi
Pedesaan – Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB. Saat ini mengemban tugas sebagai
Sekretaris Pusat merangkap Kepala Divisi Kajian Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan pada Pusat Studi
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB.
2 Epistemologi atau theory of knowledge adalah cabang dari filsafat yang menelaah asal‐muasal dan ruang‐lingkup
sebuah ilmu pengetahuan (the nature and scope of knowledge). Epistemologi berusaha menjawab pertanyaan
tentang "apakah itu ilmu pengetahuan, sesugguhnya?", "bagaimana sebuah ilmu pengetahuan didapatkan dan
dibangun?", and "apa yang diketahui orang, sebenarnya?". Schmidt (2001) mengatakan: “epistemology involves the
application of rational methods of inquiry and explanation, with the correctness of the resulting findings being
confirmed or disconfirmed by testing the predictions they yield. The methods of inquiry and explanation themselves
1
2 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
axiologis3 (landasan etik dan estetik sebuah disiplin ilmu), maupun sisi ontologis4
(pengetahuan tentang konsep‐konsep dasar yang relevan dengan area of knowledge).
Secara kesejarahan, bidang ilmu ekologi manusia memasuki dunia scholarship saat
sejumlah socialsciences scholars mengarahkan perhatiannya pada beberapa isyukritikal
ekologi‐biologi yang kemudian berkembang menjadi common interest, dan
ditindaklanjuti oleh agenda riset yang menghasilkan bangun kerangka konseptual yang
mantap dalam menjelaskan hubungan manusia dan alam.
Dalam tulisan ini, selain perspektif ekologi‐biologi akan digunakan pula perspektif
sosio‐kulturalisme untuk mengungkap “kisah perjalanan” bidang ilmu ekologi
(manusia) sejak bidang ini diperkenalkan pertama kalinya oleh Haeckel pada tahun
1866. Sebagai ilmu pengetahuan yang relatif baru, kelahiran ekologi manusia memang
sangat “banyak berhutang” pada ekologi‐biologi sebagai “ilmu‐induk”nya. Secara
epistemologis, kelahiran bidang ilmu ekologi manusia ditandai oleh proses panjang
demistifikasi sejumlah statement of beliefs melalui serangkaian pembuktian empirik
demi memahami dan mengkonseptualisasikan realitas keterhubungan antara sistem
sosial (lebih tepatnya human system) dan sistem alam (nonhuman system) di biosfer.
Qualitative research approach yang dikembangkan para scholars di bidang ini sangat
banyak menggunakan gagasan‐gagasan metaphoric yang di”pinjam” dari konsepkonsep
biologi (misal: konsep organisme, kapasitas bertahan hidup, jaringan,
kesetimbangan, dan sebagainya) serta sosiologi (misal: konsep konflik, ketimpangan,
kooptasi, organisasi sosial dan sebagainya). Metaphoric analysis tersebut telah
membuat ekologi manusia mampu menjelaskan gejala‐gejala serta hubungan
kausalitas yang berlangsung dalam sistem sosio‐ekologi secara meyakinkan dan absah.
Selain pendekatan kualitatif, riset‐riset ekologi manusia kontemporer kini menempuh
pula jalur kuantitatif‐positivistik dengan tools yang sangat rigid.
Akumulasi hasil temuan penelitian melalui berbagai kerangka‐metodologis telah
mengukuhkan ekologi manusia menjadi sebuah bidang ilmu yang posisi keilmuannya
makin mantap dalam ilmu‐ilmu sosial. Meskipun demikian, perkembangan bidang ilmu
ekologi manusia sesungguhnya telah menempuh perjalanan panjang dan berliku. Pada
awalnya, ekologi manusia berkembang melalui antropologi budaya (ilmu yang
mempelajari eksistensi komunitas asli yang membina kehidupan di suatu kawasan
dengan ekosistem khas seperti hutan atau pesisir). Beberapa ilmuwan juga
menganggap ekologi manusia berkembang melalui jalur geografi budaya (studi
tentang geografi masyarakat di berbagai kawasan dengan setting geografi spesifik).
Pada taraf berikutnya, sosiologi lingkungan – yang merupakan perkembangan
are derived by way of deduction from logical premises about human reasoning, as well as reconstruction of the
formal structure and rationale characterizing science as a distinct cognitive activity”.
3 Axiologi adalah studi atau dimensi nilai atau karakter‐kualitatif dari sebuah bidang ilmu. Dalam hal ini, axiologi
meliputi dimensi etika dan estetika sebuah ilmu, yaitu dua ranah dalam filsafat yang pemahamannya sangat
tergantung pada penilaian subyektif seseorang.
4 Ontologi adalah studi tentang eksistensi sebuah ilmu yang dijelaskan berdasarkan dari beragam konsep dasar yang
membangunnya. Ontologi berupaya mendeskripsikan kategori‐dasar dan bentuk‐bentuk hubungan yang ada untuk
menjelaskan entitas sebuah ilmu. Ontologi dapat pula didefinisikan sebagai studi tentang konsep‐konsep realitas
yang dijelaskan oleh sebuah ilmu atau disiplin. Harre (1997) mengemukakan bahwa: “an ontology is a reasoned list
catalogue of entities, relations, and processes presupposed in some patterns of intentional action”.
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 3
evolusioner bidang‐keilmuan ekologi manusia di aras sistem sosial – ikut memperkaya
dan memperkukuh ekologi manusia sejak ilmu ini turut mengkaji isyu‐isyu kehancuran
alam dari perspektif konflik‐sosial dan bekerjanya mekanisme kelembagaan secara
fungsional dalam tata‐hubungan manusia dan alam (Dunlap and Catton Jr, 1979).
Secara ontologis, konsep‐konsep ekologi manusia yang digunakan selama ini
sebenarnya memang telah dikenal luas dalam disiplin ekologi‐biologi. Konsep‐konsep
dasar seperti proses adaptasi dan maladaptasi ekologis untuk mengkaji sekelompok
manusia atau komunitas lokal dalam bertahan hidup di suatu kawasan, menjadi
gagasan dasar untuk menjelaskan perkembangan sistem sosial masyarakat
berdasarkan interaksinya dengan alam. Konsep jejaring sosioekologis digunakan
untuk menjelaskan bentuk hubungan dibangun dalam rangka pengembangan human
securitysystem di suatu kawasan maupun pada relung kehidupan tertentu.
Sementara itu bentuk‐bentuk dinamika hubungan sosial‐ekologis seperti proses
kompetisi, suksesi dan konflik atas sumber‐sumber kehidupan atau sumberdaya alam
yang menyertai manuver‐manuver sekelompok orang dalam mempertahankan proses
survival di suatu kawasan (habitat), sangat kentara “meminjam” konsep‐konsep yang
selama ini digunakan oleh baik disiplin ekologi‐biologi maupun sosiologi. Sementara
itu penjelasan tentang bangun budaya yang terbentuk sebagai akibat interaksi
berkelanjutan antara manusia dengan alam, menampakkan betapa kentalnya
persenyawaan disiplin ekologi manusia dengan antropologi (cultural and ecological
anthropology).
Dari telaah secara epistemologis dan ontologis itu, pada awalnya diyakini bahwa
ekologi manusia hanyalah sebuah academicapproach untuk memahami suatu gejala
sosial di alam. Pertanyaannya, dapatkah kini ekologi manusia mempertahan dirinya
sebagai bidang ilmu yang mandiri? Hingga taraf ini, memang (baru) dapat dikatakan
bahwa ekologi manusia masih berada dalam fase mencari jati‐dirinya sebagai
scientific hybrid” yang hadir sebagai konsekuensi dari proses‐proses amalgamasi
intensif berbagai cabang ilmu‐ilmu sosial dan biologi yang telah lebih dahulu lahir.
Ekologi manusia sedang dalam proses memantapkan posisinya dalam dunia ilmu
pengetahuan (Goldman and Schurman, 2000; Little, 2000). Perkembangan lebih lanjut
memberikan bukti kuat bahwa sambil memantapkan diri ekologi manusia juga
melakukan “metamorfosa” secara struktural menjadi sosiologi lingkungan dan
mematangkan diri menjadi bidang baru: ekologi politik.
Sekalipun mengalami proses perkembangan evolusioner, di bidangnya sendiri ekologi
manusia menapaki kemajuan keilmuan yang sangat berarti bila dipandang dari
agenda‐agenda riset yang berkembang hingga saat ini. Perkembangan peergroup dan
tema‐tema riset ekologi manusia kontemporer seperti sustainable livelihood system
(lihat: http://www.odi.org.uk/rpeg/srls.html, http://www.livelihoods.org, ataupun
http://www.waterandlivelihoods.org), politicalecology of common pool resources
(lihat http:www.idrc.ca, http://www.iisd.ca, http://www.wri.org), localcommunitybased
natural resources management (lihat http://www.ecologyandsociety.org),
serta berbagai aplikasi pendekatan ekologi manusia dalam pembangunan dan
pertanian (lihat http://www.fao.org/sd, http://www.iied.org, http://www.unep.org)
4 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
sangat memberikan arti perkembangan dan eksistensi bidang ilmu ekologi manusia di
masa kini. Demikian pula, kegunaannya dalam menjelaskan kualitas peradaban
manusia dalam konteks dinamika hubungan interaksional antara sistem alam dan
sistem sosial (eko‐sosial) dalam kehidupan saat inipun, ekologi manusia dirasakan
makin substansial posisinya. Beberapa fenomena penting seperti krisis ekologi
(ecological crisis) – berupa proses‐proses destabilisasi kesetimbangan alam yang
diakibatkan oleh peradaban latemodernity yang menempatkan seluruh elemen
ekosistem biosfer dalam ancaman kehancuran bersama –, menjadi agenda riset
penting ekologi manusia sejak paruh kedua abad 20.
Secara axiologis, ekologi manusia diperkaya oleh munculnya fenomena risk society
dalam sistem etika5 dan estetika peradaban modern. Sistem masyarakat berisiko
terbentuk sebagai akibat penggunaan teknologi dan gaya‐hidup modern yang serba
shortcut”, eksploitatif terhadap sumberdaya alam, serta serba instant tanpa
mengindahkan dampaknya pada generasi mendatang. Munculnya sistem sosial
modern yang unsustainable telah menumbuhkan dan menguatkan perhatian para
scholars pada ecoethics6 beraliran etika ekosentrisme7 (sebagai pengganti aliran
antroposentrisme8) bagi kehidupan sosial‐kemasyarakatan masa depan. Realitas ini
dijelaskan dengan baik oleh para ahli sosiologi‐lingkungan yang memiliki perhatian
besar terhadap persoalan ekologi manusia (lihat Buttel, 1987 dan Beck, 1992). Hingga
titik ini, ekologi manusia telah menjadi ajang perseteruan akademik para penganut
arus‐arus utama pemikiran yang seringkali berseberangan satu sama lain. Fakta ini
memberikan perkembangan yang menggembirakan karena secara keilmuan kini
terdapat beragam pilihan kemungkinan jalan‐keluar atas suatu persoalan ekologis
yang dihadapi oleh alam dan manusia.
5 Etika adalah teori filsafat tentang moral (the philosophical theory of moral). Etika memberikan pegangan (rules of
conduct) dan tuntunan berperilaku bagi manusia dalam membuat keputusan‐keputusan untuk bertindak. Sementara
itu, moral adalah teori tentang tindakan manusia (theory of human actions) untuk menyelesaikan tugas‐tugas yang
diharapkan dalam kerangka pencapaian nilai‐nilai yang diagungkan (the good) dalam membuat keputusan‐keputusan
atau tindakan‐tindakan. Sistem etik yang menggerakkan tindakan atau keputusan akan sangat dipengaruhi oleh
kemajuan intelektual yang dialami oleh sang pelaku. Sementara itu, frame budaya dimana sang pelaku membina
kehidupan akan sangat mempengaruhi cara berpikir yang dianut oleh sang pelaku. Oleh karena itu, dapat pula
dikatakan bahwa karakteristik etika yang dikembangkan oleh setiap pelaku (manusia) akan sangat ditentukan oleh
derajat kemajuan atau capaian budaya (peradaban) dalam sistem masyarakatnya. Karena itu, berbeda dengan etika
agama yang berbasiskan pada dogma, maka etika yang dikembangkan oleh masyarakat bisa berubah sesuai
perkembangan capaian kebudayaan – dalam hal ini kebudayaan dimaknai sebagai keseluruhan intellectual aspects
dari peradaban (Legendre, 2004).
6 Ecoethics adalah teori‐teori filsafat tentang moral ekologi, dimana tindakan manusia (theory of human actions) yang
berkaitan dengan praktek dan ekspektasi manusia dan hubungannya dengan alam (sistem ekologi) ditetapkan dan
dijalankan dalam kerangka pencapaian nilai‐nilai luhur (the good) tentang kehidupan di alam semesta. Ecoethics
menyediakan “aturan‐aturan baku untuk bertindak/berperilaku” (rules of conduct) bagi manusia dalam menjaga
hubungan fungsional antara alam dan manusia (compatibility between nature and humanity) (Legendre, 2004).
7 Aliran dalam ecoethics yang memandang bahwa kedudukan manusia dan alam adalah sejajar dimana hak dan
kewajiban manusia serta alam adalah sama. Dalam etika ini dikembangkan prinsip saling menghormati di antara
komponen‐komponen biotik dan abiotik yang menyusun keseluruhan sistem biosfer alam.
8 Aliran dalam ecoethics yang mengagungkan posisi manusia di atas segala‐galanya dalam biosfer planet bumi.
Manusia menjadi pusat pengaturan (dan penikmat) sistem kehidupan alam. Segala sesuatu yang berada di luar
manusia (tumbuhan dan hewan serta sumberdaya alam lainnya) semata‐mata ada demi memenuhi kebutuhan hidup
manusia, oleh karenannya manusia boleh mengeksploitasinya, tanpa perlu memikirkan untuk melakukan rehabilitasi
dan perbaikan kualitas sumberdaya alam yang ada.
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 5
Masih secara epistemologis‐axiologis, fenomena konflik sumberdaya alam (natural
resources conflict) adalah isyu ekologis yang secara instrumental menjadi “lahan
garapan” ekologi manusia yang sulit digantikan oleh bidang ilmu lainnya (lihat Buckles,
1999). Pada kajian konflik sumberdaya alam, dilibatkan analisis etik‐normatif dimana
ekologi manusia telah terbiasa secara instrumental untuk memahaminya. Terdapat
banyak agenda lain yang masih dan sedang diselesaikan oleh para scholars ekologi
manusia pada saat ini seperti persoalan ethnicssurvival hingga culturalsurvival (studi
tentang “daya tahan hidup” sistem pengetahuan lokal, sistem budaya dan kearifan
lokal melawan hempasan dan kooptasi ilmu‐pengetahuan dan sistem budaya modern
yang dikembangkan dari paradigma eksploitatif kapitalistik terhadap alam). Juga,
persoalan mentransformasi pikiran ke arah ecosocial rationality dari rasionalisme
naturalutilitarianisme yang membelenggu cara‐berpikir sebagian besar masyarakat
modern yang sangat destruktif terhadap alam adalah garapan ekologi manusia
kontemporer (Little, 2000). Studi ekologi manusia kontemporer lainnya adalah tentang
gerakan sosial lingkungan (new social movement) yang memberikan kesadaran akan
pentingnya sebuah tata‐aturan ekologi baru yang diciptakan melalui pendekatan
gerakan yang menggunakan bukan‐benturan‐antar‐kelas ala Marxian. Sebagai
perbesaran skala dari organisasi sosial, gerakan sosial lingkungan (dengan segala
bentuknya) yang terinstitusionalisasi dalam sistem sosial‐kemasyarakatan modern
diharapkan menjadi instrumen pencapaian keadilan lingkungan (the theory of
ecological justice) dalam wacana ekologi manusia dan ekologi politik kontemporer
(Stevis, 2000; Taylor, 2000).
Dengan menyadari betapa rumitnya ramifikasi dan ruang‐lingkup bidang‐kajian ekologi
manusia, hal ini mendorong Micklin dan Poston (1998) untuk mengusulkan proses
“metamorfosa” secara totalitas ranah‐keilmuan ekologi manusia menjadi “the
sociology of human ecology”. Gagasan ini dipicu oleh keterlibatan mereka secara
mendalam dalam studi‐studi ekologi manusia klasikstatik yang melibatkan empat
bidang utama (humanecological complex), yang kemudian dikenal sebagai kompleks
ekologi POET (Population, Social‐Organization, Environment, and Technology).
Beranjak dari kompleks sistem ekologi ini, Micklin dan Poston memandang perlunya
analisis‐dinamik atas POET. Ada tiga klaster‐studi sosiologi penting yang kemudian
berkembang dalam analisisdinamik sistem sosial ekologi manusia kontemporer,
yaitu: people (tata‐kehidupan dan dinamika manusia dalam konteks biologis), society
(tata‐kehidupan dan dinamika manusia dan alam yang dibangun via pemanfaatan
organisasi sosial dan ilmu‐pengetahuan‐teknologi yang membentuk konfigurasi sosiobudaya)
serta nature (tata‐lingkungan dan dinamika kawasan yang menjadi tempat
hidup serta menjadi “supportingfacilities” bagi manusia). Ketiga isyu tersebut menjadi
fokus kajian ekologi manusia di akhir abad 20 hingga awal abad 21 saat ini. Sementara
itu, dilatarbelakangi oleh dinamika sistem ekologi di kawasan dunia ketiga yang sangat
kental diwarnai oleh persoalan struktur dan proses konflik yang kompleks, Escobar
(1999) dan Bryant (1998) mendorong ekologi manusia untuk berkembang menjadi
ekologi politik melalui inkorporasi disiplin politics, political economics, maupun
development studies (terutama aliran radical development theories) ke dalam body of
knowledge‐nya secara terintegrasi.
6 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
2. Konsep dan AsumsiAsumsi Dasar
Sebagai sebuah bidang‐ilmu, ekologi manusia berkembang dari keniscayaan adanya
interaksi manusia (man and culture) dan alam (nature), yang sebenarnya telah
berlangsung sejak sejarah mencatat eksistensi kehidupan di planet bumi ini. Bidang
ilmu ekologi manusia dibutuhkan kehadirannya dalam dunia ilmu‐pengetahuan,
dikarenakan kemampuannya dalam memberikan landasan teoretik dan konseptual
yang berguna untuk memaknai dan memahami fenomena dan fakta hubungan
interaksional manusia dan alam serta perubahan sosial dan ekologis (ecological
change) yang terjadi di alam. Perubahan ekologis itu, terutama berkenaan dengan
munculnya destabilitas ekosistem9 sejak terjadinya penurunan jumlah dan kualitas
sumberdaya alam oleh karena meningkatnya jumlah populasi dan kualitas aktivitas
manusia/masyarakat. Perubahan ekologis adalah dampak yang tidak dapat dielakkan
dari interaksi manusia dan alam yang berlangsung dalam konteks pertukaran
(exchange). Proses pertukaran itu sendiri melibatkan energi, materi dan informasi
yang saling diberikan oleh kedua belah pihak (kedua sistem yang saling berinteraksi).
Sistem alam dan sistem manusia saling memberikan energi, materi dan informasi
dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu sama lain (Gambar 1).
Gambar 1. Pertukaran Energi, Materi dan Informasi antara Dua Sistem
Manusia meminta materi, energi dan informasi dari alam dalam rangka pemenuhan
kebutuhan hidup (pangansandangpapan atau sustenance needs) mereka.
Sementara itu alam, lebih banyak mendapatkan energi, materi dan informasi dari
manusia dalam bentuk waste and pollutant (termasuk radioactive waste) yang lebih
banyak mendatangkan kerugian bagi kehidupan seluruh penghuni planet bumi.
9 Ekosistem adalah tempat berlangsungnya proses‐proses interaksi antara organisme (dalam hal ini manusia) dan
lingkungannya. Ekosistem mikro adalah tingkatan terendah, seperti taman, kolam, sedangkan ekosistem meso
ditunjukkan oleh ekosistem hutan, pesisir, sungai. Sedang ekosistem makro adalah region yang lebih luas seperti
pulau, benua dan bumi.
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 7
Pada Gambar 1 tersebut, sistem manusia (sistem sosial) dibangun oleh lima elemen
yang saling pengaruh‐mempengaruhi yaitu: organisasi sosial atau sistem pengendalian
dan kelembagaan, teknologi, populasi (penduduk manusia), sistem pengetahuan, dan
norma atau nilai‐nilai yang dibangun masyarakat. Sementara itu, sistem ekologi
dibangun oleh lima elemen yakni: tanah‐air‐udara yang merupakan unsur dasar yang
dibawa oleh alam, tumbuh‐tumbuhan dan hewan adalah komponen biotik yang ada di
alam selain manusia, mikro‐organisme yang berfungsi sebagai dekomposer, serta
manmade infrastructure seperti jalan, bangunan, dan sebagainya. Proses pertukaran
energi‐materi‐dan‐informasi melibatkan seluruh elemen atau komponen yang ada di
kedua sub‐sistem tersebut. Pertukaran materi‐energi‐dan‐informasi sebagaimana
digambarkan pada Gambar 1 di atas dapat diilustrasikan oleh contoh sebagaimana
terdapat dalam Box 1 berikut ini.
Box. 1 Pertukaran Materi, Energi dan Informasi yang Menghasilkan Kearifan Lokal
Namun, tidak selamanya proses pertukaran energi dan materi antara sistem sosial dan
sistem ekologi berlangsung (dan menghasilkan pengetahuan) dalam suasana kearifan,
sebagaimana mekanismenya digambarkan di atas. Pemenuhan kebutuhan hidup
manusia yang terus‐meningkat telah mengantarkan manusia pada suatu fase, dimana
manusia terdorong untuk mengembangkan tindakantindakan manipulatif berbentuk
complex adaptive mechanism yang rumit namun eksploitatif di setiap aras ekosistem
mikro‐meso‐makro di seluruh pelosok planet bumi.
Dalam kehidupan, manusia memerlukan ikan sebagai sumber pangan (protein hewani). Oleh
karenanya telah sejak lama manusia memanfaatkan ekosistem laut sebagai penyedia energi dan
materi pangan manusia. Untuk menangkap ikan, manusia mengembangkan berbagai macam cara
dan peralatan (teknologi) penangkapan ikan (termasuk jaring). Praktek penangkapan ikan yang
telah berlangsung berabad‐abad memberikan pelajaran‐asli (indigenous knowledge) yang berguna
bahwa, bentuk jaring‐ikan yang terlalu besar, berkilometer panjangnya, dan menganga terlalu
lebar (driftnets semacam jaring trawl) akan membahayakan populasi keseluruhan jenis ikan.
Karenanya bentuk jaring yang demikian selalu dihindari oleh nelayan. Alasannya, dengan bentuk
jaring yang demikian itu segala macam ikan akan mudah terjebak dalam jaring dan tidak mungkin
bertahan hidup di dalamnya. Padahal anak‐anak ikan tidak diharapkan untuk ditangkap dan
sepantasnya dibiarkan tetap hidup demi untuk menjaga kelangsungan populasi ikan di masa
mendatang. Jika tidak, manusia sendirilah yang akan menuai kerugian berupa paceklik ikan di
masa mendatang, sebagai akibat matinya semua bibit ikan. Pengetahuan ini merepresentasikan
transfer of information dari sistem ekologi ke sistem sosial. Transfer informasi itu menghasilkan
pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang berharga, dimana komunitas nelayan
mengembangkan organisasi sosial penangkapan ikan berupa pengembangan normaaturan atau
kelembagaan yang mengatur tata‐cara penangkapan ikan termasuk musim‐musim yang
diperbolehkan dalam menangkap ikan. Sistem kelembagaan seperti ini, di Kepulauan Maluku
dikenal sebagai “sistem sasi” atau waktu dimana nelayan tidak diperkenankan melaut untuk
memberikan kesempatan ikan berkembang biak dengan sempurna. Demikianlah sehingga
interaksi pertukaran materi‐energi‐dan‐informasi antara sistem sosial dan sistem ekologi,
menghasilkan reproduksi budaya (pengetahuan, norma, etika, dan nilainilai sosial) yang berguna
bagi kelestarian kehidupan alam, selain proses produksi dan reproduksi materi itu sendiri. Dalam
diskursus ekologi manusia kontemporer, keseluruhan mekanisme pertukaran energi dan materi
yang menghasilkan pengetahuan yang penting bagi tegaknya kelestarian sumberdaya alam ini,
dikenal sebagai kearifan lokal (local wisdom).
8 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
Secara keseluruhan mekanisme‐mekanisme adaptif (adaptive mechanism) tersebut
menghasilkan akibat yang sama, yaitu: cenderung terus‐menerus menggerus
sumberdaya alam secara cepat, memperlemah daya dukung lingkungan (weakening
the carrying capacity of the ecosphere) yang mengarah pada terjadinya krisis ekologi
(ecological crisis) secara berkepanjangan. Krisis ekologi di planet bumi yang sangat
sangat tampak nyata itu antara lain direpresentasikan oleh situasi seperti: (1)
kelangkaan sumber pangan yang mengakibatkan bencana kelaparan dan insiden giziburuk
yang makin meluas; (2) kelangkaan sumber energi, pasca habisnya fossilfuel
energy yang makin serius; (3) pemburukan kualitas kehidupan akibat polusi dan
ledakan penduduk di atas habitat yang makin sempit (4) eskalasi erosi, banjir, dan
longsor akibat ekspansi kegiatan manusia hingga ke kawasan rawan bencana alam, (5)
biodiversity loss akibat eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan, dan last but not
least (6) kriminalitas, perilaku menyimpang, dan masalah sosial lain akibat tingginya
kompetisi karena terbatasnya relung kehidupan yang memadai bagi kehidupan lestari.
Dari perspektif dinamika kependudukan, krisis ekologi bermula dari jumlah penduduk
manusia di planet bumi yang terus meningkat secara signifikan (dua milyar jiwa di
akhir abad 19 menjadi sekitar enam milyar jiwa di akhir abad 20). Ledakan populasi
manusia itu menyebabkan interaksi manusia dan alam mengalami dinamika yang luar
biasa. Dinamika itu menghasilkan perubahan status stabil ke status instabil sebuah
ekosistem yang sangat cepat, dimana sebagai konsekuensinya alam mengalami
tekanan ekologis yang luar biasa atas perubahan‐perubahan tersebut. Destabilitas
kesetimbangan ekosistem itu bisa dijelaskan oleh sifat hubungan interaksional antara
manusia dan alam yang lebih banyak berada dalam mekanisme pertukaran yang
timpang dibandingkan beberapa abad yang lalu manakala jumlah penduduk masih
terbatas. Makin terbatasnya ruang kehidupan (Lebensraum) sebagai akibat tekanan
penduduk, telah memaksa manusia untuk mengembangkan proses pemanenan energi
dan materi yang semakin eksploitatif. Alam dipaksa untuk terus berkompromi
terhadap kehadiran manusia yang semakin berlipat jumlahnya. Dua akibat yang pasti
dari proses ini adalah: kehancuran lingkungan dan kemiskinan.
Dari perspektif developmentalisme, modernitas peradaban yang disongsong melalui
strategi pertumbuhan telah menumbuhkan growthmaniasyndrome hampir di
seluruh negara di dunia. Sindroma ini telah memaksa pemerintahan di setiap negara
memacu pembangunan melalui eksploitasi sumberdaya alam secara besar‐besaran
dan habis‐habisan tanpa mengindahkan usaha konservasi secara seimbang. Dalam hal
ini alam dipandang sebagai energi‐pembangunan yang seolah memiliki kemampuan
tak terbatas.
Dalam suasana greediness seperti itu, semua tatanan kelembagaan, norma‐norma dan
nilai‐nilai yang mengatur “tatakrama berperilaku” (etika‐moral keberpihakan)
terhadap alam diterabas dan tidak dihiraukan lagi keberadaannya. Semua ini dilakukan
karena, manusia perlu hidup dan meneruskan eksistensi (survival) mereka. Perilaku
eksploitatif‐manipulatif itu menyebabkan koeksistensi manusia dan alam (kehidupan
bersama manusia dan alam) kini berada dalam relasi kekuasaan (power relation) yang
tidak setara. Proses penyesuaian “organisasi sistem kehidupan” yang harus dilakukan
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 9
secara cepat, telah menyebabkan mekanisme pertukaran berlangsung dalam suasana
chaoticorganization dimana alam semata‐mata menjadi obyek kooptasi, dominasi dan
pemuasan kebutuhan manusia tanpa ada ruang dan waktu yang mencukupi baginya
untuk meregenerasi dan memberdayakan kemampuannya di alam. Artinya, harkat
dan martabat alam menjadi sangat rendah saat berhadap‐hadapan (vis a vis) dengan
martabat manusia.
Proses pertukaran materi, energi dan informasi antara alam dan manusia tak hanya
menjadi tidak setara (inequal) lagi, namun juga makin multidimensional (melibatkan
faktor‐faktor yang tidak sederhana: sosial, politik, ekonomi, teknologi, dan budaya)
serta menghasilkan ekses‐ekses yang dampaknya tidak saja lokal, melainkan juga
global. Tidak dapat dielakkan lagi, ekologi manusia dipaksa untuk mengembangkan
instrumen analisis yang lebih komplet, dimana bisa memadukan instrumeninstrumen
sebagaimana dikembangkan oleh ilmuilmu sosial dan ekologi (cabang dari biologi)
dalam satu kesatuan. Sekali lagi, kebutuhan itu harus dijawab oleh ekologi manusia di
abad 21. Dalam hal ini, berkembangnya etikamoral lingkungan yang menyimpang
dalam kehidupan modern seperti penggunaan permanent organic pollutant (pop)
dalam industri, penggunaan genetically modified food, rekayasa genetika, kloning
dalam bioteknologi, mismanagement dalam pengelolaan sumberdaya alam, serta
masalah kemiskinan dan kehancuran kawasan, makin mendorong pemikiran untuk
mengembangkan bidang ilmu tersebut.
3. Pengertian dan Batasan Konseptual
Sebagai sebuah pemikiran yang terus berevolusi menjadi bidang ilmu dan demi
pengukuhan eksistensinya dalam dunia sains, ekologi manusia telah
mendokumentasikan rumusan pemikiran konseptual yang lengkap dan mampu
menjelaskan bagaimana pertautan antara “humansystem” atau “culture system
dengan “nature system” atau “ecological system”. Dalam hal ini, ekologi manusia
dipahami secara sederhana sebagai “ilmu tentang hubungan timbal balik mahluk
hidup (dalam hal ini manusia) dengan lingkungan hidupnya”. Marten (2001)
memahami ekologi manusia sebagai: “ilmu yang memberikan landasan analisis yang
berguna untuk memahami konsekuensi aktivitasaktivitas manusia pada sistem sosial
dan sistem ekologi” secara sekaligus.
Diesendorf dan Hamilton (1997) memahami ekologi manusia sebagai bidang ilmu yang
mempelajari: “the relationship between humanity and their nonliving environment”.
Sementara itu, Micklin dan Poston (1998) memahami ekologi manusia sedikit lebih
provokatif dengan membedakannya dengan bioekologi secara umum, sebagai:
human ecology is a field of study grounded in the four referential construct
population, technology, organization, and environment”. Dari Micklin dan Poston
inilah, konsep kesetimbangan POET (population, organization, environment, and
technology) dibangun lebih lanjut.
Dalam wacana ekologi manusia kontemporer, dikatakan bahwa bidang ilmu ini sangat
kuat berkepentingan terhadap persoalan pemenuhan kebutuhan pangansandangpapan
dan nafkah manusia, termasuk pemenuhan gizi dan kesehatan masyarakatnya,
10 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
dimana ekologi manusia dipahami sebagai “human ecology is concerned with
organizational aspects of human populations that arise from their sustenanceproducing
activities”. Sementara itu, persoalan ekologi manusia kontemporer adalah
juga berkutat pada persoalan bagaimana organisasi sumberdaya alam diformulasikanditeguhkan
dan dikukuhkan melalui seperangkat norma‐nilai dan tata‐aturan, sehingga
ekologi manusia dipahami sebagai adalah “ilmu tentang organisasi sumberdaya alam”,
terutama tanah, air dan udara. Dalam konteks ini, studi‐studi agraria dan
kelembagaan common pool resources (CPR) menjadi sangat relevan dengan bidang
ilmu ekologi manusia (lihat Berkes, Folke, and Colding, 2000; Bromley, 1992; Ostrom
1990).
Sekali lagi, secara kesejarahan, perkembangan gagasan dan pemikiran yang kemudian
membentuk bidang ilmu ekologi manusia tidak bisa dilepaskan oleh perjalanan
keilmuan Ernst Haeckel, yang memperkenalkan kajian ini pada tahun 1866. Haeckel
mengemukakan bahwa ekologi dipahami sebagai “the study (of management) of the
household of nature”. Dalam sebuah rumahtangga alam, selalu terkandung asumsi
bahwa kondisi internal suatu sistem ekologi (ekosistem) akan senantiasa berada dalam
kondisi yang dinamis atau berubah‐ubah sesuai bekerjanya kekuatan‐kekuatan
pengaruh alam (lingkungan atau environment) dan living organism (terutama manusia)
dalam melakukan aktivitas. Ekologi sendiri adalah sebuah multi‐disiplin dimana fokus
perhatiannya pada dinamika hubungan interaksional antara sistem sosial dan sistem
ekologi, memerlukan dukungan beberapa cabang ilmu lain untuk melengkapinya.
Pengaruh ilmu geografi, geologi, klimatologi, ilmu alam (fisika, kimia, biologi,
kesehatan), ilmu ekonomi, sosial‐budaya dan politik menjadikan ekologi manusia
sebagai holistic science (Quinn, 1940).
Ekologi manusia mengenal beberapa konsep yang merepresentasikan keadaan (status)
dinamika internal suatu sistem ekologi (ekosistem) seperti: stabilitas dan instabilitas
pertukaran materi, stagnasi dan perubahan ekologis, kesetimbangan dan
ketidakseimbangan populasi, serta proses alokasi, distribusi, interaksi, dan pertukaran
dari energi‐mater‐informasi sebagai unsur‐unsur pembentuk susunan suatu
ekosistem. Dalam dinamika internal ekosistem ini, terlibat dua faktor (unsur) penting
yaitu faktor biotik atau living organism dan faktor abiotik atau nonliving elements
seperti cahaya matahari, air, gas, tanah dan sebagainya.
Studi tentang rumahtangga alam, menghadapi persoalan yang derajatnya makin rumit
manakala perhatian diarahkan pada dinamika interaksional antar ekosistem, dimana
eksistensi suatu livingorganism di satu ekosistem dipertaruhkan secara berhadaphadapan
vis a vis melawan eksistensi living organism yang lain pada sistem ekologi
berbeda, maka terjadilan dinamika kerjasama, kompetisi, persaingan, ketergantungan,
oppression atau tekanan, peminggiran atau marjinalisasi, dan perjuangan untuk
survived dari kepunahan. Dalam hal ini, terdapat klaim lain yang mengatakan bahwa
ekologi manusia berkembang dari antropologi budaya, dimana ilmu tersebut
berintikan kajian terhadap hubungan antara alam dan manusia serta peranan alam
dalam membentuk format budaya masyarakat yang tinggal di atasnya (lihat Tabel 1).
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 11
Dalam perkembangannya ekologi manusia menjadi sebuah bidang ilmu tentang
interaksi manusia dan lingkungannya. Dalam memahami interaksi tersebut, terlibat
berbagai disiplin lain seperti sosiologi, biologi, engineering, geografi, arsitektur,
kesehatan dan ilmu lain guna membantu telaahan‐telaahan yang dibangunnya. Studi
ekologi manusia merentang pada beragam konteks budaya dan ekosistem, sehingga
terbentuklah fokus kajian ekologi manusia berburu‐meramu, ekologi perkotaan,
ekologi manusia di kawasan sekitar hutan, ekologi manusia di kawasan persawahan,
pesisir, daerah aliran sungai, dan sebagainya (lihat kembali Tabel 1).
Bidang ilmu ekologi manusia memiliki peran yang makin penting untuk menganalisis
beberapa isyu kritis perkembangan alam di planet bumi. Pertumbuhan penduduk
yang berjalan sangat pesat dan mengarah pada krisis pangan merupakan kekhawatiran
pertama tentang kelangsungan hidup umat manusia di planet bumi. Setelah itu,
industrialisasi yang memproduksi berbagai sampah berbahaya dan mengancam status
kesehatan manusia menjadi ancaman berikutnya. Kehancuran ekosistem hutan,
tanah, udara dan air sebagai akibat tekanan penduduk yang makin tinggi serta
aktivitas ekonomi yang sangat eksploitatif, merupakan keprihatianan komunitas dunia
yang juga dirasakan meluas.
Dalam hal ini, krisis ekologi global yang menghantui banyak orang adalah
berlangsungnya proses‐proses technometabolism – proses pengubahan bahan dan
materi melalui sentuhan teknologi yang rakus energi – yang terjadi pada masyarakat
industri maju. Berbeda dengan natural metabolism, proses produksi industrial itu
mengandalkan input materi, bahan baku dan sumberdaya alam serta energi extratinggi
(yang didatangkan dari luar sistem ekologi setempat) dan sekaligus
menghasilkan sampah beracun yang sangat membahayakan eksistensi bumi dan
isinya.
Proses‐proses produksi berlangsung dalam suasana heavypressure on ecosystem,
dimana aktivitas pertukaran dan perekonomian dilangsungkan melalui platform
kelembagaan ekonomi korporatismekapitalisme yang sangat rakus terhadap sumber
energi tak terbarukan. Tiga sub‐sistem (biologi, sosial, dan ekologi) yang ditelaah pada
sistem “masyarakat konsumsi energi tinggi” menunjukkan kecenderungankecenderungan
yang mengkhawatirkan bila dibandingkan dengan “masyarakat
berburu dan meramu ataupun pertanian tradisional”. Semua parameter pada
masyarakat konsumsi energi tinggi mengarah pada percepatan tercapainya doomsday
scenario (skenario kiamat) bagi planet bumi.
Industri‐industri berteknologi modern yang sangat rakus energi di kebanyakan negaranegara
maju, setiap hari menghasilkan karbondioksida 12000 kali lebih besar daripada
apa yang dihasilkan oleh masyarakat pertanian di seluruh planet bumi. Dampak
langsung yang ditimbulkan adalah greenhouse effect (pemanasan global), produksi
CFC (Chlorofluorocarbons) berlebihan, sampah industri berbahaya termasuk sampah
nuklir, dan munculnya berbagai degenerative and infectious diseases bagi semua
mahluk di planet bumi akibat aktivitas industri padat energi.
12 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
Pada titik ini tantangan bagi kajian‐kajian ekologi manusia kontemporer telah jauh
berkembang dari sekedar berfokus pada isyu klasikal tentang interaksi manusia, alam
dan budaya yang terbentuk, bergeser kepada aspek dinamis proses‐proses pertukaran
dan formasi jejaringan antara sistem ekologi dan sistem sosial. Dengan demikian,
ekologi manusia telah berkembang dan melintas antar‐disiplin dan menemukan
batasannya jauh melampaui apa yang dipikirkan para sarjana antropologi kultural di
masa lalu.
Tabel 1 Dimensi Biologi, Sosial, dan Ekologi pada Empat Tipe Budaya Masyarakat
Aspek
Penting
Kehidupan
Tipe Masyarakat
Berburu dan
Meramu
Tipe Masyarakat
Pertanian –
Tradisional
Tipe Masyarakat
Kota (Awal)
Tipe Masyarakat
Kota (konsumsi
energi tinggi)
Sub‐sistem
biologis dari
kehidupan
masyarakat
Secara fisik sehat 􀃆
kematian bukan
disebabkan oleh
penyakit, melainkan
predator (binatang
buas) di alam
Terdapat kecukupan
pangan 􀃆 terutama
dari bahan
tumbuhan
Kehidupan manusia
menyesuaikan
keadaan alam
Sebagai akibat
meningkatnya
interaksi antar
manusia, pada
lingkungan menetap
􀃆 maka malaria
menjadi penyakit
penting
Jenis makanan relatif
tidak lagi variatif 􀃆
less variety in
foodstuffs
Bercocok tanam 􀃆
menyediakan bahan
pangan secara
kontinu
Kota tak dapat
memenuhi
kebutuhan pangan
sendiri 􀃆 dipasok
dari kawasan sekitar
kota
Population density
meningkat akibat
tinggal bersama di
suatu kawasan 􀃆
resiko terhadap
penyakit meninggi
Single staple food
Berbagai sumber
penyakit bisa diatasi
melalui teknologi
tinggi, perbaikan gizi,
dan kesehatan
Muncul penyakit
degeneratif seperti
cancer dan
cardiovascular
dalam kehidupan
modern
Alam dipaksa
menyesuaikan
kehendak manusia
􀃆 melalui aplikasi
teknologi‐modern
Sub‐sistem
sosialbudaya
dari
kehidupan
masyarakat
Hidup berkelompok
kecil 10‐20 orang per
kelompok (band)
Biasanya nomadik
Kegiatan berburu
binatang besar
dilakukan oleh lakilaki
Pekerjaan penyiapan
makanan didominasi
oleh wanita
Lessnomadic (more
settled) 􀃆 sedentary
life style
Hubungan sosial
antar manusia relatif
makin intens
Sebagai konsekuensi
tinggal menetap 􀃆
maka penularan
beberapa jenis
penyakit
berlangsung relatif
makin intens
Masyarakat mulai
terdiferensiasi ke
dalam beberapa
golongan 􀃆
konsekuensi
spesialisasi
pekerjaan
Hierarchical
structure of society
become rigid
Dalam hal ini konsep
ownership” (private
property) menguat
􀃆 tanah/lahan pun
mulai diprivatisasi
Intensitas eksploitasi
sumberdaya alam
meningkat tajam 􀃆
akibat kebutuhan
energi yang tinggi
Organisasi produksi
dikendalikan melalui
korporatisme 􀃆
sangat kapitalistik
dan lacking in
compassion (kurang
empati) terhadap
nasib kelestarian
sumberdaya alam
Sub‐sistem
ekologi dari
kehidupan
masyarakat
Teknologi utama
adalah api 􀃆
sebagai sumber
energi dari luar
tubuh atau
technometabolism
Teknologi api
memudahkan
operasionalisasi
kehidupan
Masyarakat mulai
melakukan
manipulasimanipulasi
atas
sumberdaya alam
yang ada (tanah) 􀃆
dengan tujuan
constant and
reliable supply of
food
Alat bantu pertanian
mulai dibuat dan
dikenal meluas
Konversi lahan hutan
Penggunaan energi
api (extrasomatic)
dan produksi
karbon‐dioksida
meningkat
Kesibukan di kota
menyebabkan 􀃆
manusia terisolasi
dari keterlibatannya
secara langsung
dalam natural
nutrient cycle
Degradasi lahan
terjadi makin tinggi
Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi
menyebabkan 􀃆
tekanan luarbiasa
terhadap ekosistem
Penggunaan fossilfuel
sangat tinggi
Massive increase in
the intensity of
technometabolism of
human society 􀃆
membahayakan
keberlanjutan alam
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 13
menjadi ladang 􀃆
meluas
Perubahan
sosialekologis
Berlangsung lambat dan
dipicu oleh teknologi
api dan perubahan
berjalan sangat lambat
Perubahan berjalan
relatif lebih cepat
dibanding huntingandgathering
community
Berlangsung cepat
karena kebutuhan yang
meningkat dan
menyentuh semua
aspek kehidupan
Berlangsung sangat
cepat, destruktif, dan
skalanya meliputi lokal
hingga global
Sumber: Diesendorf and Hamilton, 1997 (disesuaikan)
Pada titik ini, dipandang sangat relevan untuk merevitalisasi tema‐tema riset ekologimanusia
pada berbagai isyu‐isyu kritikal dinamika komunitas pedesaan dengan
melibatkan tiga dimensi perhatiannya pada persoalan: population, society and nature
secara lebih terpadu (Gambar 2).
Manakala basis sistem sosial kemasyarakatan menjadi orientasi konseptualisasi dan
epistemologis yang setara bobotnya dengan basis sistem ekologi, maka pendekatanpendekatan
sosiologis menjadi relevan untuk melengkapi kajian ekologi manusia.
Oleh karenanya, tidak berlebihan bila kajian ekologi manusia berkembang menjadi
sosiologi ekologi manusia, atau dalam banyak hal dipersamakan dengan kajian
sosiologi lingkungan (lihat Dunlap and Catton, Jr, 1979; Buttel, 1987). Dalam sosiologi
lingkungan, kajian‐kajian dinamika ekologi dan komunitas lokalits berperspektifkan
ekologi manusia merambah ke berbagai dimensi kajian yang dikatakan oleh White
(2004) sebagai kajian yang sarat dengan problematisasi isyu‐isyu ekonomi‐politik dan
pemaknaan posisi alam dalam kaitannya dengan sistem kehidupan manusia.
Gambar 2. Kompleks “PopulationSocietyNature” dalam Ekologi Manusia
Hingga taraf ini, ekologi manusia telah menjadi transdisiplin dimana banyak faktor
harus ikut diperhitungkan. Hal ini terutama berlangsung pada “ruang” sosialkemasyarakatan
dimana disana terlibat tidak saja struktur sosial melainkan juga
14 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
persoalan etika‐moral dan estetika, teknologi, organisasi sosial dan kelembagaan,
sistem politik, melainkan hingga politik ekonomi dan sistem hukum atau tatapengaturan.
Demikianlah, sebagai bidang ilmu ilmu yang relatif baru dan masih
mencoba untuk terus melakukan positioning, ekologi manusia juga terus dihadapkan
pada tantangan pemecahan masalah yang kian rumit dan kompleks sifatnya.
4. Pergeseran Ruang Lingkup Ekologi Manusia
4.1 Dari Antropologi Budaya ke Sosiologi Lingkungan
Dari perspektif ilmu‐ilmu sosial, bidang ilmu ekologi manusia (yang berawal dari
sebuah pendekatan untuk memahami persoalan manusia dan alam) menapaki sejarah
perkembangan keilmuannya secara khas. Sejak manusia menyadari betapa perubahan
ekologi membawa akibat pada berlangsungnya krisis‐krisis ekologi (ecological change
and crisis) yang mendera makin dalam dan mengancam “daya‐hidup” manusia, maka
sejak saat itulah para sarjana ilmu sosial bersemangat untuk mencari akar‐persoalan
yang bisa menjelaskan krisis dan menanganinya secara lebih komprehensif dari
perspektif sosiologi. Dengan demikian, “perjumpaan‐akademik” ilmu‐ilmu sosial
dengan ekologi, memang jelas bukannya tanpa kesengajaan dan tidak terjadi secara
suka‐suka (arbitrary). Sejak saat itulah sebagai bidang ilmu baru, ekologi manusia
mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Pada akhir abad 20, investigasi teoritik yang mengkombinasikan sosiologi, antropologi
dan ekologi menghasilkan persenyawaan baru social dan ecology (the dynamics of
humanenvironment interaction) sebagai perluasan studi ekologi manusia. Pada kajian
sosial‐ekologi ditelaah lebih lanjut masalah‐masalah sosial dan hukum serta societal
dynamics yang terjadi sebagai konsekuensi perubahan ekologi di suatu kawasan. Pada
taraf lebih lanjut, “metamorfosa” human ecology menghasilkan cabang ilmu baru
sociology of human ecology (lihat Micklin and Poston, 1998). Cabang ilmu baru ini
makin berkembang menjadi environmental sociology yang mulai dikembangkan secara
meluas oleh public academia sejak akhir abad 20 (lihat Redclift and Woodgate, 1997
dan Dunlap et. al, 2002). Metamorfosa “ekologi manusia” sebagai scientific field tidak
berhenti sampai di situ karena perjumpaannya dengan political economics,
menghasilkan cabang keilmuan baru yang mulai banyak diminati para sarjana ilmu
sosial, yaitu political ecology (ekologi‐politik) yang didominasi oleh tradisi pemikiran
ala historical materialism Marxian dengan atmosfer konflik yang sangat kuat (lihat
Forsyth, 2003; Robbins, 2004).
Jika perjalanan ekologi manusia ditilik kembali ke tahap awal‐perkembangannya, maka
dapat disimpulkan bahwa sosiologi dan ekologi tanpa disadari sebenarnya telah
bersenyawa sejak semula (membentuk ekologi manusia) karena mereka memang
“saling membutuhkan”. Secara epistemologis, persenyawaan itu dimulai sejak adanya
kegundahan pada pertanyaan ala Malthusian tentang: “bagaimana manusia dan
komunitasnya seharusnya memelihara ekosistem agar mereka mampu menetralisasi
ketidaksetimbangan ekologis sehingga perjalanan survival dapat dilanjutkan hingga
melampaui lebih dari satu generasi”. Hingga titik ini, konsep‐konsep ekologi klasikal
seperti adaptasiekologi dan socioecological adjustment disertai konsep kompetisiSodality:
Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 15
suksesi menjadi konsep‐konsep dasar yang sangat penting untuk meretas jalan
pemahaman ekologi manusia. Fokus perhatian investigasi teoritik pada tataran ini
dengan sengaja menuju pada upaya pemetaan pola‐pola adaptasi ekologi
spesifik/khas‐lokalistik yang dilakukan oleh sistem‐sistem sosial “kecil‐terisolasi”
(dalam bahasa developmentalisme mereka sering dilabelkan secara keliru dengan
istilah “suku terasing”). Pemahaman terhadap peta budaya sistem masyarakat kecil ini
menghasilkan peta yang lengkap tentang polapola adaptasi ekologi komunitas asli
(misal: Komunitas Dayak di Kalimantan, Komunitas Anak Dalam di Sumatera,
Komunitas Baduy di Jawa, Komunitas Dani dan Amungme di Papua). Pada titik ini
ekologi manusia menjadi tak ada bedanya dengan disiplin cultural anthropology yang
memulai investigasi teoritiknya dengan fokus kajian sistem statik pada homeostasis10
yang dihadapi oleh suku‐suku asli di pelosok dunia (lihat kembali perbandingan empat
masyarakat pada Tabel 1). Dalam hal ini ekologi manusia mengembangkan
penjelajahan pengamatan dan analisisnya ke sistem‐sistem sosial masyarakat yang
lebih diverse yaitu: masyarakat pertanian, perkotaan dan industri serta masyarakat
global.
Dalam setiap analisisnya, ekologi manusia tanpa disadari menggunakan konsep
survival of the fittest sebagai asumsi dasar atau gagasan sentral untuk memahami
persoalan ekologi di suatu kawasan. Hal ini dilandasi oleh suatu keyakinan, bahwa jika
suatu kawasan mengalami guncangan dan komunitas yang berada disana lagi tak
mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik, maka pastilah ada persoalan
ekologis yang harus dijawab. Rasionalitas ini didasarkan pada sebuah proposisi yang
mengatakan bahwa sekalipun dalam kondisi alam yang ekstrem, setiap mahluk hidup
akan mampu mengembangkan kehidupannya melalui mekanisme adaptif. Kecuali bila
ektremitas itu telah melampaui batas, sehingga setiap mahluk hidup yang mencoba
untuk melakukan adaptasi akan mengalami kegagalan yang diikuti kematian dan
kepunahan.
Dalam memahami mekanismemekanisme survival suatu komunitas, pemikiran
evolusionisme Darwinian telah mengantarkan ekologi manusia pada tataran perhatian
yang intensif pada mekanisme perekayasaan teknologi dan infrastruktur organisasi
sosial. Dua pilar mekanisme adaptasi yang terpenting tersebut yang kemudian
“mengisi” dimensi cultural (alam‐pikiran atau cara‐pandang manusia tentang alam)
dalam sistem ekologi manusia.
Investigasi teoritis terus berlanjut dan menyentuh kepada persoalan‐persoalan
konsekuensi logik pertautan dan persinggungan intensif dimensi “culture” dan
nature” pada sebuah sistem ekologi. Pada titik inilah investigasi teoritik diarahkan
pada pencarian jawaban tentang “social roots of ecological change” atau “ideational
factors affecting the nature” (lihat misalnya analisis Brosius, 1999). Pemikiran untuk
mencari penyelesaian pragmatis persoalan‐persoalan kritikal hasil interaksi “culture
and “nature”, di “wilayah politik” telah mengantarkan sejumlah pemikir ekologi
10 Dipahami sebagai: “a state in which environmental conditions remain nearly constant in spite of externally imposed
changes to the system”. Homeostasis adalah status kesetimbangan ekosistem dengan segala komponen ekosistem
yang melengkapinya yang memungkinkan mahluk hidup atau organisme melakukan proses adaptasi dan readaptasi
agar selalu berada dalam kesetimbangan ekosistem pada kondisi lingkungan yang selalu berubah.
16 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
manusia untuk mengembangkan disiplin “politik lingkungan” (environmental politics)
(lihat Doyle and McEachern, 2001; Connelly and Smith, 2003).
4.2 Dari Sosiologi Lingkungan ke Ekologi Politik
Melihat seriusnya persoalan kerusakan sistem ekologi di berbagai kawasan di seantero
biosfer planet bumi, maka usaha perbaikannya haruslah didekati melalui pendekatan
multi‐aras. Selain itu, wilayah perjuangan dan garapan juga tidak hanya terbatas pada
aspek bio‐fisik semata‐mata. Lebih daripada itu, ”wilayah politik” adalah kawasan yang
perlu digarap lebih intensif karena selama ini belum banyak disentuh oleh para
pemikir ekologi manusia. Secara praxis, paling tidak hal ini dibuktikan oleh tak adanya
satupun partai politik di Indonesia atau di kebanyakan negara sedang berkembang
yang menempatkan isyu lingkungan dan pelestarian sumberdaya alam pada posisi
pertama platform perjuangan politik mereka. Kesadaran ini telah mendorong ekologi
manusia memperluas ”wilayah kajian”nya dari pendekatan klasikal ke wilayah yang
lebih dinamis dan menantang. Pada ekologi politik, dipertemukan dua ”sub‐ruang”
yang saling dikontestasi sesamanya yaitu ”ruangkonflik” (sebagai ruang dimana
proses produksi dan reproduksi kebijakan dan keputusan politik yang melibatkan
beragam kepentingan, dilangsungkan) dan ”ruangkekuasaan” (sebagai ruang dimana
para pemegang otoritas kebijakan menjalankan keputusan/kebijakan yang telah
ditetapkan di ruang‐konflik).
Sebelum membahas pendekatan‐pendekatan dalam pemecahan masalah krisis ekologi
secara multi‐aras, lebih jauh. Ada baiknya, ditinjau (secara singkat) apa sesungguhnya
pengertian ekologi politik itu? Mengapa ekologi manusia berkepentingan terhadap
bidang ini? Bagaimana bidang ilmu ekologi manusia secara instrumentalmetodologikal
menopang kelangsungan kajian‐kajian ekologi politik?
Beberapa definisi tentang ekologi politik datang dengan asumsi yang sama yaitu:
environmental change and ecological conditions are (to some extent) the product of
political processes”. Jika keadaan lingkungan adalah produk dari proses‐proses politik,
maka tidak terlepas pula dalam hal ini adalah keterlibatan proses‐proses dialektik
dalam politik ekonomi. Ideologi profitmaximizing economy yang dianut oleh para
aktor atau pelaku ekonomi yang selalu melakukan kalkulasi benefit and cost analysis
dalam operasionalisasi praktek ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi) turut
mengukuhkan proses kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan. Sementara itu, di
banyak kawasan dunia ketiga, berlakunya sistem kekuasaan oligarkis yang
memungkinkan terbentuknya “aliansi strategik politisi‐birokrat‐pengusaha” telah
dituding turut memperburuk kondisi sistem ekologi bumi, karena ketiga pihak
“mengeroyok” sumberdaya alam dan lingkungan secara bersama‐sama, baik melalui
enforcing regulasi dan tata‐aturan legal maupun yang dilakukan melalui “pintu
belakang” (corruptive legislation processes). Fakta ini, telah membawa krisis ekologi
pada dimensi yang sangat kompleks. Kehancuran sistem ekologi bisa mendapatkan
penjelasan dari sisi moral‐ekonomi pelaku ekonomi, namun juga dapat dijelaskan dari
adanya kegagalan dalam sistem tata‐pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam dan
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 17
lingkungan sebagai akibat bekerjanya proses‐proses politik kolutif dan “siasat jahat”
yang bekerja dibalik keluarnya sebuah regulasi tentang eksploitasi sumberdaya alam.
Kajian ekologi‐politik selalu mempertanyakan: “kekuatan (ekonomi dan politik) apakah
yang (sesungguhnya) telah menyebabkan hilangnya kawasan hutan hujan tropis,
rusaknya pesisir, terumbu karang di lautan, serta hancurnya sumberdaya air”? Lalu
pertanyaan tentang “who gets what” menjadi sangat relevan dalam mengukur
keadilan atas pembagian manfaat yang dipetik dari eksploitasi sumberdaya alam,
seperti: “siapa mendapatkan keuntungan dari proses pemanfaatan sumberdaya alam
dan lingkungan”? dan “Siapakah yang harus menanggung derita kerugian dari semua
kehancuran alam itu?”. Dari pertanyaan‐pertanyaan itulah diskusi ekologi politik
dimulai.
Dengan demikian, ekologi politik didefinisikan dengan basis asumsi: “keadilan”, “krisis
ekologi”, ”campur tangan kekuasaan” dalam sistem ekologi dan pemanfaatan
sumberdaya alam. Blaikie and Brookfield (1987) seperti dikutip dalam Robbins (2004)
mendefinisikan ekologi politik sebagai “combines the concerns of ecology and a
broadly defined political economy. Together, this encompasses the constantly
shifting dialectic between society and landbased resources, and also within classes
and groups within society itself”. Sementara itu, Peet and Watts (1996) seperti
dikutip dalam Robbins (2004) mendefinisikannya sebagai “a confluence between
ecologically rooted social science and the principle of political economy”.
Watts (2000) seperti dikutip dalam Robbins (2004) memberikan batasan ekologi politik
sebagai: ”to understand the complex relations between nature and society through a
careful analysis of what one might call the forms of access and control over
resources and their implications for environmental health and sustainable
livelihoods”. Dengan batasan ini, maka ada enam sub‐bidang ekologi politik yang
terlibat dalam sistem eco‐politics, dimana setiap pihak berjuang untuk menguasai
salah satu diantaranya atau beberapa diantaranya, yaitu: (1) ilmu‐pengetahuan atau
knowledge, (2) kekuasaan atau power, (3) praktek atau operasionalisasi kegiatan
ekonomi, (4) politik, (5) keadilan, (6) tata‐pengaturan atau governance. Demikianlah,
sehingga ekologi politik tidak semata‐mata hanya berarti ”praktek dan proses‐proses
politik tentang lingkungan atau ekosistem”, melainkan lebih kompleks daripada itu.
Ekologi politik menyentuh persoalan perjuangan di wilayah gagasan atau ideologi,
formulasi ilmu pengetahuan dan pengujian keyakinan dan rasionalisme yang
berakarkan pada mazhab ekologisme, hingga pada perjuangan keadilan lingkungan
(ecoenvironmental justice) dan persoalan tata‐pengaturan pemerintahan lingkungan.
Penataan kelembagaan dan cara‐pandang di wilayah makro‐politik harus disertai
penataan hal yang sama di ”wilayah” individu (melalui pendidikan dan penguatan
kapasitas kognitif manusia) serta di ”wilayah” sistem sosial (melalui pemberdayaan
kelembagaan dan pengukuhan norma‐norma/aturan). Pada aras individual, diperlukan
proses pendidikan dan pembelajaran yang mampu membangkitkan kesadaranindividual
dan perubahan etika‐moral akan pentingnya peran yang dijalankan oleh
setiap elemen (biotik dan abiotik) pembentuk sistem ekologi bagi kehidupan di planet
bumi. Kesadaran itu mengarah pada satu titik yaitu: apabila terjadi ketimpangan dan
18 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
ketidakseimbangan dalam proses‐proses pertukaran dalam sistem ekologi, maka
keseluruhan sistem akan mengalami gangguan yang mengakibatkan destabilisasi
keseimbangan keseimbangan alam. Tidak hanya alam yang akan menderita dari proses
ketidaksetimbangan itu namun juga manusia pun niscaya menerima akibatnya. Oleh
karenanya, sangat penting untuk menyadari, bahwa betapapun kecilnya fungsi dan
peranan sebuah komponen ekosistem, namun keberadaannya tetap harus
dipertahankan dan dilestarikan. Penanaman prinsip kesederajatan hak‐hidup antara
manusia (human society) dan mahluk non‐manusia (non human society) di alam (mereplace
antroposentrisme dengan ekosentrisme) sepantasnya terus diupayakan. Pada
ranah sistem kemasyarakatan harus ditumbuhkan kelembagaan dan sistem hukum
atau tata‐pengaturan yang mampu mengatur perilaku yang akrab lingkungan
(menyediakan insentif bagi mereka yang pro‐lingkungan dan memberikan penalty bagi
mereka yang tidak sadar keberadaan lingkungan), termasuk didalamnya pengaturan
yang menjamin penanaman nilai‐nilai bioetika yang kondusif bagi kelestarian
lingkungan. Pada aras negara dan supranegara, diperlukan perjuangan politik
ekologis yang terus‐menerus tanpa lelah guna memperjuangkan cita‐cita kelestarian
lingkungan.
Pada aras negara, segenap kekuatan unsur masyarakat pemerhati kesetimbangan
ekologis harus berhadap‐hadapan dengan unsur masyarakat yang memiliki
kepentingan berbeda‐beda. Konflik kepentingan akan segera terjadi manakala
kebijakan terpaksa harus memilih sebuah keputusan yang berkonsekuensi pada
penegasian kepentingan yang dibawa oleh struktur kekuatan politik lain. Konflik
kepentingan pada ranah pengembilan kebijakan sangat berpeluang muncul manakala
struktur kekuatan kapitalismeglobal sebagai pihak yang selama ini menjadi
”penggerak pembangunan” dan dianggap bertanggung jawab atas kehancuran alam
melawan para penentangnya yaitu para aktivis environmental movement
organizations serta green political parties. Gerakan ekopopulisme disisi lain membawa
agenda politik tersendiri dengan orientasi utama penyelamatan kesejahteraan sosialekonomi
rakyat kebanyakan, petani dan komunitas lokal seraya tetap
mempertahankan keberadaan sumberdaya alam tetap di bawah kontrol mereka.
Kebanyakan politisi dan birokrasi negara di sisi lain, mengambil sikap pro‐investasi
asing (pro‐modernisme) yang membawa ideologi korporatismekapitalisme,
dikarenakan orientasinya pada pertumbuhan ekonomi, pajak dan perluasan
kesempatan kerja.
Dari sini, kelak akan terlihat betapa tidak sederhanya pemecahan persoalan
kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan di suatu kawasan. Pilihan‐pilihan
kebijakan dan keputusan politik yang harus diambil akan selalu membawa tradeoff
syndrome (membawa biaya sosial yang harus ditanggung oleh kelompok lain yang
berseberangan) yang sulit dicapai titik optimalnya. Selain itu proses‐proses
pengambilan keputusan politik lingkungan juga perlu perhatian khusus. Semangat
desentralisme, demokratisme dan paradigma partisipatif yang kini menjadi
kecenderungan politik global perlu menjadi perhatian khusus dalam mengembangkan
atmosfer politik mikro hingga makro.
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 19
Dalam hal ini penting pula dibahas bagaimana sesungguhnya tipologi kerusakan
sumberdaya alam dan lingkungan, dampaknya pada kehidupan sosio‐ekonomi‐ekologi
suatu sistem kemasyarakatan serta bagaimana pendekatan penanganan secara sosiopolitis
yang harus ditempuh. Untuk memudahkan pemahaman tentang ruang‐lingkup
kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan serta respons politik apa yang harus
dilakukan, sistematika penjelasan yang dikemukakan oleh Bryant (1998) sebagaimana
tampak pada Tabel 2. berikut ini akan sangat berguna.
Tabel 2. Dimensi‐Dimensi Ekologi Politik atas Kehancuran Alam dan Lingkungan
No. Timecoverage
(Periodisasi)
penghancuran
ekosistem
Perubahan Fisik
yang Menonjol
dari Krisis
Ekologi
Sifat Dampak bagi
Masyarakat
Kemungkinan
Tindakan
Politik
Bentuk
Masyarakat
dan Struktur
Alam yang
harus
diadvokasi
01. Berlangsung
kapan saja atau
setiap
saat/setiap hari
terjadi.
Erosi tanah
Hutan yang
menggundul 􀃆
akibat
deforestasi
Gurun 􀃆
akibat
desertifikasi
lahan
Abrasi pantai
Lahan gundul
􀃆 akibat
penambangan
Bersifat akumulatif dan
biasanya diikuti oleh
proses inequality
(ketidakadilan), dimana
kaum miskin (tak
berpunya) menjadi pihak
yang paling menderita dan
menanggung beban
terberat sebagai
konsekuensi dari
keseluruhan proses
perubahan ekologis ini.
Livelihood
protests or
livelihood
resistance 􀃆
dilakukan oleh
mereka yang
terancam
kelangsungan
nafkahnya, serta
merasa tertekan
oleh kehancuran
lingkungan
Marginalized
society 􀃆
proses
peminggiran
kaum miskin
dan
ketidakadilan
lingkungan yang
diderita oleh
alam
02. Berlangsung
secara episodik
(periodik‐danbersambungan).
Banjir
Badai
Kekeringan
Angin ribut
Bisa banyak kemungkinan
terjadi disini. Namun,
umumnya kaum miskin
atau masyarakat
kebanyakan adalah
penderita utama. Selain
itu, alam
“Disaster” relief
(bantuan pangan)
dan perbaikan
sumberdaya alam
dan lingkungan
Ecologically
vulnerable
society 􀃆
terjadi
kerawanan
pangan dan
ketidakpastian
nafkah serta
kehancuran
alam.
03. Berlangsung
sekaligus,
sistematik, dan
sistemik
Limbah industri
Limbah nuklir
Biologically
(genetically)
modified
species
Cenderung membawa
dampak yang bersifat
massal dan sistemik 􀃆
manusia dan alam menjadi
korban yang senasib dan
sependeritaan.
People distrust,
people
movement,
revolutionary
movement
Risk society 􀃆
struktur alam
dan masyarakat
yang
kehidupannya
sangat berisiko
tinggi terhadap
kehancuran dan
kematian.
Sumber: Bryant, 1998
Dengan dipahaminya bentuk masyarakat dan alam yang mengalami deprivasi akibat
proses penghancuran alam disekelilingnya, maka proses‐proses ekologi‐politik
selanjutnya akan dapat menetapkan langkah politik operasional. Dengan memahami
bentuk‐bentuk serta derajat kehancuran alam dan masyarakat atas krisis ekologi yang
berlangsung, maka dapat ditetapkan sejumlah pilihan strategi intervensi dan kebijakan
lingkungan yang mungkin diimplementasikan, mode of action dari pilihan intervensi
20 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
yang diimplementasikan, serta pentahapan aksi dan pelibatan kekuatan pengaruh
politik untuk mencapai tujuan.
Dari Tabel 2. di atas, sistem sosial masyarakat akan menghadapi tiga aspek terpenting
kerusakan lingkungan dari perspektif eko‐politik. Ketiga aspek itu adalah: (1)
marjinalitas atau peminggiran secara sosial‐ekologikal sebuah kelompok mahluk
hidup, (2) kerentanan secara sosial‐ekonomi‐ekologi dan fisikal akibat berlangsungnya
kehancuran secara terus menerus, dan (3) kehidupan yang penuh dengan resiko
kehancuran taraf lanjut.
Dengan memperhatikan dimensi‐dimensi penting ekologi politik di atas (Tabel 2),
maka kepada masyarakat dunia kini tersedia tiga pilihan skenario kehancuran alam
dan masyarakat yang tersedia dan semuanya menjadi realitas yang tidakmengenakkan
(the incovenient truth). Dengan mengantisipasi munculnya peluang
ketiga skenario tersebut, masyarakat dunia dipersilakan untuk menentukan langkah
konkret demi meminimalisasi derajat kehancuran alam dan sistem sosial di bumi.
Melalui proses‐proses dan negosiasi politik, pilihan demi pilihan konkret bisa
diimplementasikan dengan satu tujuan, yaitu: memperpanjang masa‐hidup bumi yang
mengalami “proses penuaan dan penghancuran sangat cepat” akibat melemahnya
daya dukung lingkungan bumi karena excessive forces yang datang dari berbagai
aktivitas kehidupan di atasnya.
5. Ideologi dalam Ekologi Politik vs. Ideologi Pembangunanisme
Secara politis, muculnya bidang ilmu ekologi politik tidak terlepas dari menguatnya
perspektif kritis‐alternatif yang sengaja digaungkan oleh kekuatan‐kekuatan gerakan
sosial berhaluan struturalisme‐keras pro‐lingkungan. Mereka mendesak masyarakat
dunia untuk berpaling dari perspektif mainstream pembangunanisme‐modernisme
yang telah dianggap gagal dalam memelihara kelestarian alam karena pendekatan
yang diambilnya sangat mengabaikan eksistensi lokal, destruktif dan eksploitatif. Oleh
kelompok ini, arus utama modernisme‐developmentalisme yang diintroduksikan
melalui “logika rasionalisme kapitalisme Barat” dipandang sebagai proses transplantasi
ide‐ide modernitas Euro‐Amerikanisme yang telah terbukti membawa kegagalan
pemihakan pada lingkungan di kawasan sedang berkembang. Pada titik inilah analisis
analisis ekologi politik menjadi terasa sangat dinamik dan berbeda secara signifikan
dengan apa yang ditawarkan oleh analisis ekologi manusia serta sosiologi ekologi
manusia (sosiologi lingkungan) yang relatif lebih statis. Nuansa dinamis itu terutama
ditandai oleh masuknya dua domain penting dalam analisis ekologi politik, yaitu: (1)
relasi kekuasaan politik, (2) analisis konflik ekologi.
Kecaman keras yang datang secara diametral terhadap pendekatan pembangunan
yang berorientasi pada tradisi modernisme‐kapitalistik (yang bergandengan tangan
dengan mazhab ekonomi neoklasikal yang dianut oleh para teknokrat melalui
pendekatan developmentgrowth), terutama datang dari penganut mazhab
ekologismeradikal yang sangat ketat dengan ideologi marxisme‐nya. Penganut
ideologi ini utamanya mendapat dukungan kuat dari para penganut Marx dari varian
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 21
lain yaitu feminism yang juga menyuarakan perjuangan atas ketidak‐adilan (genderperempuan)
sebagai jargon dan isyu utama agenda politik mereka. Dalam hal ini
ecofeminism termasuk penyokong ideologi politik lingkungan, karena banyak studi
mengungkap bahwa secara historis dan faktual perempuan memiliki kedekatan
dengan alam jauh lebih besar daripada pria.
Dalam perspektif ideologi Marx, isyu utama yang diperjuangkan pada dasarnya adalah
mewujudkan cita‐cita sebuah tata‐kehidupan masyarakat dan sistem sosio‐ekonomi
serta sistem ekologi yang lebih adil (socioecological justice) melalui pembongkaran
struktur sosialekonomi kapitalis. Penganut tradisi pemikiran Marxian kontemporer
juga menghendaki terciptanya sistem global yang selain lebih berciri keadilankesejahteraan,
juga bercirikan semangat sosialisme tanpa meninggalkan penghargaan
pada prinsip‐prinsip kesejajaran, kesetaraan, dan jaminan eksistensi bagi nilai‐budaya
lokal‐pinggiran (lihat Yearley, 1996).
Dalam tradisi Marxian, alam adalah landasan pijakan utama dan terpenting bagi
kelangsungan beragam jenis “cara produksi” yang terbentuk sepanjang sejarah
peradaban manusia. Seturut dengan tradisi pemikiran yang demikian ini, maka
terbentuklah beragam tipe system of socialproduction relation di masyarakat yang
secara distinct karena diwarnai oleh kekuatan‐kekuatan produksi (forces of
production) yang bersumber pada proses transformasi bahan (materi‐informasienergi)
dari alam (transformation of nature). Kapitalisme meramu bahan‐bahan alam
melalui kekuatan produksi berbasiskan dominasi‐superioritas kapital dimana peran
tenaga kerja menjadi “ternomor‐duakan” (playing a secondary role). Sementara alam
dipandang semata‐mata sebagai sumberdaya dan material (yang tak memiliki aspirasi)
bagi jalannya sebuah proses produksi‐kapitalis. Proses transformasi bahan yang
demikian, dipandang sebagai sebuah “jalan” penting bagi tercapainya cita‐cita
kemakmuran masyarakat (human society), dimana distribusi kekayaan mengandalkan
bekerjanya mekanisme “the invisible hand” (sebagaimana gagasannya dikemukakan
pertama kali oleh Adam Smith di abad 18). Dengan ideologi tunggal kapitalisme
sebagai satu‐satunya pendekatan pembangunan ekonomi dan sosial, maka negara
(beserta seperangkat kelembagaan politik pendukungnya) memainkan peran penting
sebagai regulator system bagi berjalannya mekanisme produksi eksploitatif tersebut,
secara terus‐menerus.
Sistem transformasi bahan yang mendapatkan “legitimasi masyarakat” (melalui
exercise of power dari Negara ke segenap elemen sistem sosial), akan bertahan
langgeng. Negara beprean penting untuk memelihara suatu sistem produksi menjadi
sebuah tradisi sistem transformasi bahan (produksi) yang mendapatkan pengukuhan
(legitimate) dan diyakini/diterima oleh masyarakat secara keseluruhan. Pada saat
itulah ideologi tersebut menjadi satu‐satunya keyakinan bagi jalan perubahan sosial ke
arah perbaikan yang direstui seluruh rakyat. Pada titik itulah, keyakinan berubah
menjadi menjadi ideologi dasar pembenaran bagi keseluruhan tatanan sistem sosial
sebuah masyarakat (dalam hal ini masyarakat kapitalistik).
Sebagaimana disebutkan dimuka, “cerita sukses” dari ideologi dan sistem politik
berbasiskan pada kapitalisme, mulai mendapatkan kritik dan keragu‐raguan secara
22 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
meluas. Hal itu terjadi manakala materialgoods (dan “kesejahteraan”) yang
dihasilkan ternyata memakan terlalu besar biaya sosialpolitik yang diformulasikan
sebagai berikut:
1. Pembagian kembali surplus value (redistribution mechanism) dari kapitalis kepada
tenaga kerja berlangsung secara kurang adil. Ada relasi kekuasaan modal yang
timpang, dimana pertukaran ekonomi lebih menguntungkan pemilik modal,
sementara fenomena kemelaratan malah menguat di kalangan buruh.
2. Pembangian kembali surplus value dari foreignowned capitalistic industries
kepada negara sedang berkembang pemilik sumberdaya alam, berlangsung
timpang, sehingga membentuk struktur produksi yang bercirikan exploitative
socialrelations dan membentuk pola pembangunan bertipe ketergantungan yang
sangat kuat. Fakta ini selanjutnya menghasilkan keterbelakangan dan struktur
ketergantungan di negara sedang berkembang.
3. Pembagian kembali surplus value dari pengusaha (pemilik kapital) kepada alam
berlangsung sangat timpang, dimana prosentase modal yang direinvestasikan
kembali ke alam terlalu sedikit dibandingkan apa yang telah diambilnya. Hasilnya,
alam tak mampu meregenerasi daya dukungnya terhadap proses produksi lebih
lanjut, dan justru mengalami kerusakan yang serius.
4. Dengan mengadopsi kapitalisme sebagai satu‐satunya azas (ideologi) dalam sistem
produksi, maka sesungguhnya Negara sebagai systemregulator, telah
memonopoli (baca: membiarkan) violence dan ketidakadilan (rationalized
inequality), dan mereproduksi terus‐menerus sistem tersebut untuk berjalan
secara lestari.
Beberapa kekecewaan atas kegagalan pendekatan pembangunan berideologikan
kapitalisme (world capitalistic economic system) yang sangat eksploitatif dan hanya
menguntungkan pihak negara maju semata (elite ekonomi dan politik) – Gambar di
atas –, telah memunculkan kesadaran baru dan kesepahaman di kalangan scholars
serta negarawan akan pentingnya untuk mengajukan pemikiran/paradigma alternatif
pembangunan. Aliran‐aliran pemikiran alternatif tersebut diharapkan dapat
menawarkan pendekatan baru dalam segala bentuk transformasi alam yang tidak lagi
berciri tunggal (multiple ideological forms of development). Pada intinya, paradigma
pembangunan alternatif tersebut hendak berusaha mengkoreksi ideologi kapitalisme
yang telah menyisakan penderitaan, kerusakan alam, dan ketidakmerataan yang
makin tajam banyak kawasan. Kegagalan kapitalisme sebagai ideologi pembangunan
dikemukakan oleh Gorz (1996) dalam “five theories of crisis”‐nya sebagai berikut:
“In the interaction of ecological change and economic development….we are dealing
…with a crisis of ‘capitalis accumulation’, intensified by an ’ecological crisis’…what
then is a ‘crisis of overaccumulation’….this is because the basic structural problem of
capital economies is how to maintain rates of return per unit investment in an
increasingly capital intensive and extensive economy. Companies faced with such a
dilemma may sell more products or produce higher valueadded products…at this
point…the dynamic of growth and the prevailing economic rationality collide with
(berbenturan dengan) the physical limits of natural world. The economic strategies
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 23
for avoiding the downward recessionary spirals of overaccumulation are resolved,
temporarily at any rate, by hightened levels of environmental damage”
Semangat untuk mengkoreksi ideologi kapitalisme sebagai paradigma tunggal (single
paradigm) pembangunan ekonomi, selanjutnya menghasilkan beragam tipe ideologi
alternatif, yang sprektrumnya sangat luas, mulai dari ideologi yang berpendekatan
sangat radikalrevolusioner hingga yang bersifat kompromistisevolusioner. Mereka
yang lebih memilih jalan moderat dalam membela lingkungan, mengambil jalan
perjuangan melalui gerakan berpaham environmentalism (cinta lingkungan). Tradisi
pemikiran environmentalism, terbukti kemudian lebih bisa beradaptasi secara baik
dengan berbagai ideologi lain di dalam ruang politik pembangunan secara praktikal.
Para ahli sosiologi dan politik pembangunan telah lama mengikuti perkembangan yang
terjadi di banyak negara sedang berkembang tersebut. Secara historis, ideologiideologi
yang berorientasi pada pemihakan lingkungan (nature advocacy) yang ada
saat ini, dapat dikatakan datang belakangan, dan muncul sebagai wujud
ketidaksepahaman atau resistensi atas hadirnya kapitalisme, yang secara tradisional
telah menelan berbagai biaya sosialekologi yang terlalu besar. Seperti disarikan dari
pemikiran WOODHOUSE (1972) dan STEVIS (2000), paling tidak ada 4 (empat) alasan
politikal‐ekologis mengapa sebuah ideologi‐politik pembangunan tandingan harus
muncul, yaitu:
1. Sistem sosial‐kemasyarakatan negara sedang berkembang pada saat ini bukanlah
sebuah sistem yang imun (kebal) terhadap pengaruh luar bahkan telah berada di
bawah pengaruh kekuasaan ekonomi negara maju 􀃆 the international systems –
dominated by the rich industrial nations – has a critical influence over internal
development in the poorer nations. Thus, richwestern industrial countries have
full control over development thirdworld nations’ destinies. Dengan keyakinan ini,
negara sedang berkembang sesungguhnya hampir tak memiliki legitimasi untuk
berkuasa dan melancarkan pengaruhnya, sementara lembagalembaga politik tak
berjalan efektif (tak berdaya), dalam mengontrol negara mereka (dalam konteks
sistem kapitalisme global). Dalam hal ini, ketidakberdayaan (disempowered)
tersebut termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dikatakan selanjutnya
bahwa the economic and cultural domination of the world by wealthier nations
adalah penyebab utama kerusakan alam di negara‐negara periferal (sedang
berkembang) 􀃆 oleh sebab itu, paham atau ideologi tandingan perlu muncul
untuk mengimbangi dominasi kapitalisme‐global di berbagai negara periferal.
2. Modernisasi telah menyebabkan perubahan gaya hidup yang sangat drastis dan
berarti di kalangan masyarakat, dimana…resource depletion caused by high
standards of living (high energy consumption, the use of throwaway products,
etc.) and poor rates of reclamation (penghijauan hutan kembali, rehabilitasi tanah
kritis, pengelolaan sampah plastik yang tak efektif, dsb)…terjadi dimana‐mana.
Dalam hal ini diperlukan redefinisi kode‐etik atau moral yang diperlukan dalam
pemanfaatan sumberdaya alam. Moral justification of action yang selalu
berorientasi pada dominasi, penetrasi modal serta pemborosan, sudah saatnya
dikoreksi.
24 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
3. Pertumbuhan penduduk terus meningkat seiring dengan perbaikan teknologi
kesehatan (modern health measures). Di sebagian belahan dunia, ledakan
penduduk telah mengancam ketersediaan pangan, karena bumi memiliki carrying
capacity (daya dukung lingkungan) yang terbatas. Dalam green politics, isyu
mereduksi konsumsi sebagai akibat pertumbuhan penduduk merupakan topik
hangat dan sangat penting, sebagaimana Capra dalam Dobson (1995) menjelaskan
bahwa: “to slow down the rapid depletion of our natural resources, we need not
only to abandon the ideas of continuing economic growth, but to control the
worldwide increase in population”. Dalam hal ini perhatian pada isyu food and
livelihood sercurity serta pengendalian penduduk menjadi masuk akal.
Secara umum beberapa sistem ideologi pembangunan yang eksis selama ini dapat
diperbandingkan satu sama lain dalam Tabel 3, sebagai berikut:
Tabel 3. Ideologi dalam Pembangunan dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam
No. Elemen
Pembeda
Kapitalisme Ekologisme Sosialisme
Komunisme
Ideologi
Lokalisme
01. Pendekatan
untuk mencapai
derajat
kesejahteraan
Liberalisasi dan
kompetisi di pasar
Pertukaran yang
adil dan
seimbang
Distribusi oleh
Negara
Pengaturan oleh
kelembagaan
adat lokal
02. Institusi
pengendali
pertukaran
Pasar via
mekanisme
supplydemand
Pasar, namun
terkontrol oleh
civil society
Tidak ada pasar
􀃆 distribusi oleh
negara
Kelembagaan
kolektif 􀃆
tunduk pada adat
03. Pelaku produksi Individu 􀃆
perusahaan
Elemen
ekosistem
Perusahaan
(Negara)
Kolektivitas 􀃆
milik komunitas
04. Kode etik
pemanfaatan
sumberdaya
alam
Dominasi,
Eksploitasi dan
Penguasaan
surplus melalui
mekanisme pasar
Hidup bersama
antar elemen
mahluk alam 􀃆
pembagian ruang
yang adil
Kesamarataankesamarasaan
semua elemen
alam
Keselarasan
dengan alam 􀃆
kesejahteraan
kolektif
05. Tujuan utama
atau Orientasi
ekonomi
Akumulasi dan
Pertumbuhan
ekonomi tinggi
Konservasi dan
Pertumbuhan
ekonomi 􀃆
setimbang
Eksploitasi alam
demi
kesejahteraan
yang sama‐rata
Pemanfaatan
alam secara
seimbang
06. Pola hubungan
produksi
Eksploitatif Konservatif Distributif Keadilan
07. Jurang
kemiskinan,
ketimpangan dan
kerusakan alam
Sangat tinggi
peluangnya untuk
muncul
Kecil peluangnya
untuk muncul
Berpeluang
muncul 􀃆
Moderate
Sangat kecil
peluangnya untuk
muncul
08. Sifat sumberdaya
manusianya
Progresif‐Agresif Naturalistispreservatik
Uniformistik Kolektivistik
Sumber: disarikan dari berbagai sumber.
4. Distribusi kemakmuran dalam sistem ekonomi kapitalis dunia telah mencapai
tahap dominasi ekonomi dan budaya yang mengkhawatirkan eksistensi penduduk
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 25
lokal (local indigenous people). Oleh karenanya, diperlukan perjuangan melalui
arena politik, untuk memperjuangkan local norms and tradition agar bisa terus
bertahan hidup.
6. IdeologiIdeologi Ekologi Politik
Dalam pandangan yang berkategorikan post‐modernisme, dimana mazhab
materialisme tidak lagi dipandang sebagai pijakan terpenting untuk melihat segala
sesuatu yang berlangsung dalam aktivitas produksi dan reproduksi ekonomi, maka
Stevis (2000), mengatakan bahwa karenanya harus ada kesadaran baru dalam
memandang tatanan sosial‐kemasyarakatan berkaitan dengan eksistensi alam.
Penyelesaian dan pencarian solusi konflik‐konflik kepentingan dalam sistem sosial,
seharusnya tidak saja hanya dilakukan dalam konteks human politics melainkan juga
dalam kerangka naturepolitics. Tradisi pemikiran yang memandang bahwa alam tak
memiliki otonomi sedikitpun untuk mengatur dirinya dalam proses‐proses produksi
harus diubah sejak dini.
Pemberian otonomi yang lebih luas bagi alam (“otonomi sumberdaya alam”) untuk
mengatur dirinya dan memperjuangkan hak‐haknya dapat dilakukan melalui
perjuangan politik ekologi dari organisasi‐organisasi sosial dan gerakan eko‐politik
yang didorong oleh para pemerhati lingkungan. Dalam sistem politik yang menghargai
lingkungan, agensi pembangunan (aktor pembangunan, praktisi politik pembangunan)
harus senantiasa menyadari akan adanya ecological rights (hak‐hak politik
alam/lingkungan) sebagai tambahan dari traditional political rights, social rights and
economic rights yang selama ini telah dikenal sebelumnya. Pemikiran pro‐ekologi
semacam ini, sangat kuat didukung oleh mereka yang berideologi politik ekologisme.
6.1 Green Thought dan Rasionalisme Ekologi
Hak politik alam untuk mengatur dan eksis, menuntut adanya pengembangan tradisi
pemikiran dan cara pandang baru dalam memahami konstelasi kekuasaan dalam
menjalankan pembangunan. Perspektif ekologisme dilahirkan untuk menjawab
kebutuhan tersebut.
Sebuah tradisi‐pemikiran yang senantiasa diasah, dikaji, dibangun, dan akhirnya
menuntun orang secara disiplin dalam mengkonstruksikan gagasan dan cara
pandangnya (theoretical way of thinking). Perspektif untuk memahami how human
beings are related and are relating to the planet (paling tidak dalam jangka waktu kini
dan masa depan), telah mengkristal menjadi sebuah ideologi baru yang dibingkai dan
disebut oleh Dobson (1995) sebagai green (political) thought. Cara pandang dalam
ekologi tersebut menilai adanya kesatuan yang sangat erat dari dua sistem yang
mandiri, yaitu sistem ekologi dan sistem sosial, yang (sesungguhnya) keduanya tak bisa
dipisahkan begitu saja dalam setiap hubungan produksi, relasi sosial, ataupun relasi
kekuasaan (Marten, 2001). Menurut perspektif pemikiran green, setiap aksi di sistem
sosial selalu menimbulkan dampak/reaksi pada sistem ekologi dan sebaliknya.
Sehingga sistem produksi ekonomi yang pada masa lalu sangat steril terhadap
26 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
persoalan ekologi (memisahkan secara tegas kepentingan ekonomi dan ekologi), kini
pandangan tersebut tak bisa ditolerir lagi.
Secara historis, pemunculan cara pandang atau “wawasan politik hijau” tersebut
didorong oleh sebuah rasionalisme hijau (green rationalism), yang didefinisikan oleh
Dryzek (1987) sebagai: “ecological rationality as a principle and as a form of functional
rationality is concerned with low entropy (kehilangan energi sebagai akibat transaksi
materi dalam kehidupan), or order in human systems as they combine with natural
systems…there is a sense in which this nature ‘knows best’ contention just has to be
correct. Recall that in the absence of human interests, ecological rationality may be
recognized in terms of an ecosystem’s provision of life support to itself”. Dengan
demikian landasan moral dari rasionalisme ekologi sesungguhnya adalah:
1. Preservasi dan perbaikan material and ecological basis of society yang diperlukan
agar berfungsinya dan berjalannya berbagai fungsi dan struktur rasional dalam
kehidupan seperti pada aktivitas ekonomi, hukum, politik dan sosialkemasyarakatan.
2. Nilai moralitas yang senantiasa mendorong seseorang atau anggota komunitas,
untuk berupaya maksimal serta menciptakan situasi yang optimal bagi
terbentuknya sistem sosial‐ekologi yang jauh dari ancaman bencana ekologis
(kelaparan, erosi, kebanjiran, kekeringan, kemiskinan, ketidakpastian iklim,
kehancuran spesies, wabah penyakit, konflik pemanfaatan sumberdaya alam, dan
sebagainya).
Berbeda dengan apa yang hendak dicapai dalam socialrationality yang selalu
bertujuan utama menciptakan harmoni kehidupan sosial serta integrasi sosial melalui
proses interpersonal adjustment, maka ecological rationality memiliki logika‐rasional
yang agak berbeda. Dua unit entitas sosial (masyarakat) yang memiliki politicalpower
yang seimbang dan saling melancarkan pengaruh dalam mengeksploitasi sumberdaya,
bisa saja mengakhiri ketegangan sosial mereka dengan membagi wilayah eksploitasi
sumberdaya alam yang mereka perebutkan. Dimana, hanya dengan cara itu
“kedamaian” sosial bisa dicapai. Namun demikian, dalam logika rasionalitas ekologi,
harmoni kehidupan sosial saja belumlah cukup. Benar bahwa ketenangan dan
stabilitas sosial‐politik adalah hal penting, namun bagi pandangan green‐thought, hal
itu tidaklah mencukupi. Mengapa? Karena di dalam sistem sosial yang harmonis,
masih berlangsung eksplotasi manusia terhadap alam yang tidak adil. Sehingga
kesetimbangan sosial yang dicapai dua masyarakat tersebut tidak diikuti oleh
kesetimbangan ekologis yang memadai.
Disini kemudian muncul persoalan keadilan sosial versus keadilan ekologis. Dalam hal
pembagian konsesi (wilayah) bagi masing‐masing entitas sosial (misalnya, antara
masyarakat pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dengan komunitas warga desa
setempat), maka pembagian mungkin dirasakan telah “adil dan mencukupi”, manakala
pembagian wilayah telah menciptakan situasi “social harmony and integration”.
Namun stabilitas sosial tersebut tetap menyimpan disharmoni hubungan antara
masing‐masing masyarakat dengan lingkungan alamnya. Persoalan inequality dan
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 27
pembagian keadilan lingkungan, tetap berlangsung antara human society (HPH dan
warga desa) melawan alam lingkungan (hutan).
Sejarah pemikiran munculnya konflik dua macam rasionalitas yang memiliki tolok
ukur berbeda, diawali oleh hadirnya “zero growthdebate yang sebelumnya telah
digagas dalam teori “Limits to Growth” oleh Club of Rome di tahun 1972. Dalam debat
tersebut, pihak penganut rasionalitas ekologi menandaskan, bahwa faktor pengendala
pertumbuhan ekonomi adalah alam dan kemiskinan. Dalam thesis “limits to growth”
itu ditandaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dipacu secara terus‐menerus
hanya akan berakibat pada dua muara yang sangat memprihatinkan dunia, yaitu:
kemiskinan (poverty) dan kerusakan alam yang tidak terperikan (irrepairable natural
resources damages). Oleh karenanya, proyek‐proyek yang mengatasnamakan
pertumbuhan ekonomi harus segera dipikir‐ulang (Connelly and Smith, 2003). Tesis ini
dibangun bukanlah tanpa alasan yang tak berdasar. Hukum kekekalan energi yang
mengatakan bahwa “energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan kecuali berubah
bentuk”, sangatlah mengilhami pemikiran “limits to growth”. Artinya, setiap materienergi
yang terakumulasi melalui pertumbuhan ekonomi di satu tempat, pasti akan
meminta sejumlah biaya berupa pengurangan akumulasi materi dan energi di tempat
yang lain (hadir berwujud “kemiskinan dan kerusakan alam”).
Sebaliknya, rasionalitas ekonomi menandaskan bahwa konsep pembangunan a la
pertumbuhan memandang bahwa natural capital selama ini dipandang seolah‐olah
tak akan pernah lapuk dan tak akan pernah lekang oleh karena kegiatan ekonomi. Hal
ini ditingkahi oleh technocentric‐ideology yang percaya bahwa kapasitas alam dalam
menopang bumi bisa “tidak‐terbatas” manakala teknologi ikut campur‐tangan dalam
sistem. Kritik terhadap realitas ekonomi adalah pada keadaan ketersediaan
sumberdaya alam yang dipandang sangat terbatas.
Alam memiliki keterbatasan daya dukung lingkungan (limited carrying capacity).
Keausan alam (nature exhausting) akan menyebabkan pertumbuhan terkoreksi.
Sementara itu, “zero growththesis sangat berkeyakinan bahwa: banjir, kekeringan,
wabah penyakit, adalah “upaya sang alam” mengkoreksi pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi, sehingga prestasi pertumbuhan ekonomi yang ada akan
terkoreksi dan terus‐menerus ditekan kembali ke taraf semula. Dengan kata lain,
pembangunan yang mengabaikan kepentingan dan “rasa” keadilan alam, akan
senantiasa menghasilkan stagnasi atau bahkan pemburukan kualitas kehidupan,
sebagaimana diilustrasikan oleh gambaran “seseorang yang berlari maju‐ke‐atas, pada
sebuah eskalator yang bergerak menurun dengan laju yang lebih cepat”.
6.2 Deep and Shallow Ecology dan Beragam Varian Green Thought Philosophy
Arah perjuangan politik lingkungan dalam pembangunan akan sangat ditentukan oleh
ideologi yang dianut. Dalam teori gerakan sosial lingkungan dan teori perjuangan
keadilan lingkungan (theory of distributive justice), dikenal beragam varian dari green
thought, dua ideologi yang penting disebutkan adalah deep ecology atau ecologism
dan shallow ecology atau environmentalism. Kedua kutub ideologi tersebut
membentuk kontinuum. Di antara kedua kutub ideologi lingkungan tersebut
28 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
sesungguhnya terbentuk varian‐varian ideologi lingkungan yang derajat kedekatannya
terhadap kedua ideologi bisa bervariasi.
Menyitir pendapat Naess tentang ideologi deepecology, Dobson (1995)
mengemukakan bahwa “deep ecology is not concerned with justice but with nature in
relation to man”. Peranan manusia di alam menjadi fokus penting dalam perspektif
ini, karena manusia dipandang sebagai agen atau aktor perusakalam paling utama di
biosfer planet bumi. Kerusakan alam tersebut berlangsung dikarenakan way of life
kebanyakan masyarakat manusia yang cenderung eksploitatif dan mengusung ideologi
merusak (destructive ideology). Dalam hal ini kerusakan hanya dapat dihentikan bila
masyarakat secara totalitas membangun semangat dan cara kehidupan yang baru
serta sistem sosial‐kemayarakatan yang mengedepankan perbaikan lingkungan alam.
Secara filosofis, ada dua macam green thought, yang perlu diperhatikan dalam
memahami gerakan sosial lingkungan yaitu:
1. Deep ecology or ecologism, adalah sebuah sistem gagasan (ideologi‐politik) yang
selalu berusaha hendak membentuk dan memandu cara berpikir masyarakat
untuk melakukan perubahan mendasar mentalitas individu dan kelompok dari
etika traditional anthropocentrism11 kepada etika biocentrism atau etikaecocentrism12.
Deep ecology memandang dan menilai sebuah tindakan sosial dari
perspektif lingkungan‐alam secara keseluruhan, dan tidak secara parsial dari
kacamata manusia semata‐mata. Secara khusus, dalam sistem gagasan ini
termasuk juga upaya advokasi terhadap eksistensi sistem sosio‐budaya lokal
(traditional ecological knowledge/TEK) yang seringkali diabaikan dan dimatikan vis
a vis sistem pengetahuan Barat. Oleh karenanya, para penganut paham ini hendak
mengubah tatanan ekonomi‐sosial dan politik dunia secara fundamentalistikradikal
struktural. Mereka memperjuangkan terbentuknya struktur tatanan dunia
“baru” dan sistem kemasyarakatan baru (ecologically friendly civilized society)
yang menghargai alam (secara proporsional) demi kelangsungan hidup
keseluruhan sistem ekologi (dimana manusia ikut menjadi bagian alam) itu sendiri.
Akar tradisi pemikiran yang dikembangkan oleh ideologi politik lingkungan ini
11 Anthropocentrism assumes explicitly that the objective of economic activity is to improve the ‘welfare’
of humans and that ‘welfare’ increases with quantities of good and services consumed. It follows from
this that resources extracted from the natural environment have value because they contribute to
human welfare, so that those attributes or aspects of the natural environment that do not contribute to
human welfare are not valuable (Diesendorf and Hamilton, 1997). Dengan demikian, antroposentrisme
adalah etika lingkungan yang memandang semua benda di bumi adalah obyek untuk pemenuhan
kebutuhan hidup manusia. Benda hanya bernilai jika dan hanya jika bermanfaat dan dapat
dimanfaatkan bagi manusia. Benda alam menjadi tak bernilai bila tak bermanfaat. Pandangan ini
memantapkan posisi manusia sebagai subyek eksploitator utama atas benda‐benda alam.
12 Ecocentrism is the view that everything natural, including natural processes, has intrinsic value, that is,
value in itself. (Diesendorf and Hamilton, 1997). Dengan demikian, apapun benda lingkungan/alam akan
selalu bernilai, sekalipun secara ekonomi tak bernilai. Karenanya, tak ada satupun benda di bumi ini
yang pantas dirusak. Ekosentrisme adalah etika lingkungan yang ditunjukkan saat seseorang atau
sekelompok orang memperjuangkan cita‐cita konservasi/keberlanjutan sumberdaya alam dengan
disiplin‐konsisten dan (kadang‐kadang dengan cara‐cara fundamentalistik‐radikalistik).
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 29
adalah StrukturoMarxian garis keras yang segaris dengan anarchism (ideologi
pembongkaran terhadap struktur kekuasaan politik mapan).
2. Shallow ecology or environmentalism, adalah sebuah sistem gagasan yang derajat
pembelaannya terhadap alam jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan deep
ecology. Dalam hal ini, perjuangan politik terhadap pembentukan new society
structure yang ramah terhadap alam (sebagaimana diperjuangkan oleh penganut
ecologism) tidaklah sekeras dan seradikal mereka kaum penganut deep ecology.
Dalam shallow ecology, pertimbangan penilaian manfaat‐ekonomi benda‐alam
terasa sangat antroposentristik (“humaninterest oriented”) meskipun dalam
pengambilan keputusan tentang pemanfaatan benda‐alam pun, mereka tidak
mengabaikan samasekali eksistensi lingkungan. Namun demikian, lingkungan
tetaplah “dinomor‐duakan” dalam pandangan ini. Kebanyakan platform
kebijaksanaan sosial‐ekonomi di Indonesia (sejak masa awal kemerdekaan hingga
1990an), dipandang berada pada aliran pemikiran shallow ecology. Pada masa
Orde Baru, – dimana gaung developmentalism (“pembangunan‐isme”) terasa
sangat kuat –, setiap kebijaksanaan publik sangat dirasakan tidak pro‐lingkungan.
Sementara itu, struktur‐jejaring gerakan sosial lingkungan global maupun
domestik yang berideologikan deep ecology pun belum terbentuk dengan baik,
sebagaimana saat ini (dekade 2000an). Alhasil, sumberdaya alam dan lingkungan
mendapatkan tekanan yang demikian hebat tanpa ada upaya advokasi yang
memadai.
Dalam deep ecology dijumpai satu varian/aliran ideologi penting yaitu darkgreen
yang berjuang ekstra konservatif terhadap alam dan lingkungan. Perjuangan politik
yang dibangun sejak di tataran grassroot (civil society) hingga arena kekuasaan politik
negara, dicirikan oleh pendekatan‐pendekatan yang fundamentalistik, radikal, dan
tidak mau berkompromi. Sementara, di sisi lain dijumpai pula aliran lightergreen,
yaitu suatu paham yang dianut oleh mereka dari kalangan moderat (kompromistismodernis)
dalam memandang persoalan lingkungan. Pada sisi sangat kompromistis,
dijumpai aliran greenblue ideology yang diisi oleh mereka yang memiliki sikap ambigu
(indistinctness) dalam pandangan politik‐lingkungan. Mereka biasa menunjukkan etika
antroposentristik dan tidak pro‐lingkungan (nongreen) ketika membicarakan
persoalan pemanfaatan sumberdaya alam bagi kehidupan ekonomi. Sementara itu,
mereka dapat berubah haluan dengan cepat dari blue (anti‐lingkungan) ke green (prolingkungan),
untuk alasan‐alasan politik tertentu (biasanya demi kekuasaan).
Ekspresi sikap dan Pandangan terhadap lingkungan, menghasilkan teori ekopolitik
terhadap lingkungan yang khas. Di negara maju maupun sedang berkembang
persoalan eko‐politik lingkungan selalu mengacu pada pertanyaan‐pertanyaan hal‐hal
sebagai berikut:
1. Sumberdaya alam dan lingkungan apakah yang sedang dipersoalkan,
diperjuangkan kelestarian/pemanfaatannya dan diperselisihkan?
2. Siapa pihak yang paling menikmati keuntungan dan menanggung kerugian atas
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan tersebut? Dan siapa pula pihak
30 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
yang paling memegang kendali penguasaan dan pengaturan atas sumberdaya
alam?
3. Kapan dan dimana pemanfaatan/pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan itu
berlangsung? Dimana dan dalam jangka waktu yang seperti apa proses
kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan diperhitungkan?
4. Dalam bentuk apa keuntungan dan kerugian atas pemanfaatan/pelestarian
sumberdaya alam dan lingkungan itu sepantasnya diukur dan dihitung?
Persoalan eko‐politik sumberdaya alam/lingkungan akan selalu berakhir pada
fundamental conflict of choice, yang berlangsung antara pilihan “conservingpreserving
the nature” versus “the use of the nature for the sake of economic growth and
development”. Perdebatan politik akan berlangsung sengit antara pihak‐pihak yang
berbeda pandangan atas kedua cara‐pandang terhadap pemanfaatan lingkungan
tersebut. Siapa yang memenangkan dan energi politik apa yang diperlukan untuk
memenangkan perjuangan gagasan‐gagasan di atas, akan sangat menentukan
dinamika politik lingkungan (ekologi politik) di suatu kawasan.
7. Penutup: Tantangan Disiplin Ekologi Manusia, Sosiologi Lingkungan dan
Ekologi Politik dalam Dinamika Komunitas Pedesaan ke Depan
Bidang ilmu ekologi manusia yang telah berkembang dari ruang‐lingkupnya yang kecilterbatas
pada kajian antropologi budaya (kesetimbangan ekologis pada sistem
komunitas lokal) ke kajian di ruang‐meso‐makro interaksi antar kelompok manusia
dengan alam pada sosiologi lingkungan. Perkembangan terakhir, ekologi manusia ikut
mendasari berkembangnya disiplin ekologi‐politik yang memiliki ruang‐lingkup lebih
luas. Ekologi politik berkonsentrasi di tataran interaksi‐makro antara para pemegang
otoritas kekuasaan dan kepentingan atas sumberdaya alam dan lingkungan (Tabel 3).
Dengan perkembangan yang demikian, ekologi manusia telah memberikan
kesempatan keterlibatan beragam disiplin ilmu untuk saling melengkapi analisis.
Beberapa disiplin yang melakukan ”amalgamasi” dengan ekologi manusia itu adalah:
ekologi‐biologi, sosiologi, antropologi, hingga ekonomi‐politik. Perlu dicatat juga
bahwa selama paruh pertama hingga paruh kedua dekade 2000an, beberapa isyu
utama yang relevan dan senantiasa melibatkan perhatian ahli ekologi manusia,
sosiologi ekologi manusia dan ekologi politik makin intensif adalah:
1. Reorientasi ideologi lingkungan. Fokus diarahkan pada usaha menggali akar etikamoral
dan budaya ekologi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
agar lebih bercirikan keadilan yang merata. Dalam hal ini tersebutlah beberapa
aliran pemikiran menonjol yang perlu diinvestigasi ulang relevansinya dalam
merekonstruksi tata kehidupan ekosistem, seperti anthropocentrism, ecocentrism,
deepecology, shallowecology, environmentalism. Dengan kata lain diperlukan
proses transformasi etika‐moral ecosocial yang mengakomodasi kepentingan
manusia dan alam secara seimbang (Dobson, 1995; Escobar, 1998; Little, 2000).
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 31
Tabel 4. Ruang Lingkup, Landasan Etik, Konsep Relevan Tiga Bidang Ilmu Serumpun
No. Elemen
Pembeda
Ekologi Manusia Sosiologi Lingkungan Ekologi Politik
01. Unsur yang
saling
berinteraksi
manusia (human
system) dan alamlingkungannya
(sistem
ekologi).
sistem sosial dan sistem
ekologi (sumberdaya alam
dan lingkungan) atau
(socio)culture vis a vis
nature.
negara, swasta dan
masyarakat sipil 􀃆
setiap entitas
membawa kepentingan
yang berbeda atas
eksistensi alam.
02. Moda interaksi
antar unsur
sustenance needs
fulfillment, pertukaran,
dan perjuangan untuk
mempertahankan hidup
(survival needs).
penguasaan, produksi,
dan reproduksi sosialbudaya
dan ekonomi
berbasiskan pada
kelimpahan berkah alam.
exercise of power and
authority dan power
struggle dalam
pengelolaan,
pemanfaatan,
konservasi, dan
advokasi terhadap
alam.
03. Obyek
interaksi
materi, energi, dan
informasi.
materi, energi, informasi,
modal, uang, wewenang,
kekuasaan/pengaruh,
pranata sosial.
Kepentingan/interest
politik.
04. Outcome
interaksi
konfigurasi budayaekologi
􀃆 komunitas
lokal dengan ciribudaya
ekologi yang
khas 􀃆 sebagai hasil
dari proses adaptasi
ekologis yang panjang.
kofigurasi hubungan sosial
antar pihak 􀃆 kesatuan
masyarakat sosio‐ekologi
desa, kota, kawasan, atau
regional 􀃆 dengan
dinamika sosio‐ekologi
yang dibangun sesuai
adaptasi khas pada setting
alam yang ditinggalinya.
konfigurasi tatapengaturan
politik
sumberdaya alam dan
lingkungan.
05. Kondisi ideal
capaian akhir
interaksi
Kesetimbangan
hubungan manusiaalam
yang mantap.
struktur dan proses sosial
yang mantap antara
sistem sosial dan sistem
ekologi serta antar sistem
sosial yang berbeda
kepentingan.
sistem eko‐sosio‐politik
yang mantap.
06. Aras analisis (biasanya) mikro 􀃆
komunitas lokal
mikro (komunitas lokal,
meso (kota‐desa‐daerah
aliran sungai/DAS, hutan),
makro (negara dan
global).
Meso (desa, kota, DAS,
hutan), dan makro
(negara dan global).
07. Mazhab teori
sosial dominan
yang
digunakan
Teori pertukaran, teori
jaringan, teori
koeksistensi dan
kompetisi, kulturalisme,
dsb.
Teori konflik, teori
struktural‐fungsionalisme,
teori pertukaran, teori
jejaring, teori‐teori
pembangunan.
Konfliktual‐Marxian,
Post‐strukturalisme,
dan beragam bentuk
aliran kritis lainnya.
08. Akar keilmuan
􀃆 hibridisasi
disiplin
antropologi budaya dan
ekologi‐biologi.
ekologi manusia dan
sosiologi.
ekologi manusia,
sosiologi lingkungan,
dan ekonomi‐politik
Sumber: disarikan dari berbagai sumber rujukan.
32 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
2. Reenergizing dan opersionalisasi teori keadilan sumberdaya alam dan lingkungan.
Fokus diarahkan pada kajian tata‐hubungan kepentingan yang seimbang antara
alam dan manusia. Pada tataran operasionalnya, penataan kawasan desa dan
perkotaan (misalnya) harus senantiasa memperhatikan kesetimbangan
eksistensial kedua elemen sistem ekologi tersebut untuk saling ber‐koeksistensi
(Stevis, 2000; Taylor, 2000).
3. Revitalisasi, reorientasi dan reformasi gerakan sosial lingkungan. Fokus perhatian
diarahkan pada investigasi teori‐teori new social movement (beraliran Marxian) vis
a vis resource mobilization theory (beraliran FungsionalismeParsonian) yang
digunakan sebagai ”alat perjuangan ekologi‐politik” dalam rangka memperbaiki
alam dan sistem sosial di suatu kawasan. Mengembangkan pola integrasi lokalglobal
melalui ”sustainabledevelopment communication network mechanisms
yang menghubung sistem mikro‐politik dan aktivisme‐politik global dengan
perhatian yang sama yaitu: penyelamatan lingkungan dan peradaban (Dwivedi,
2001; Escobar, 1998; Sassen, 2004).
4. Reshaping gagasan dan penguatan etika lingkungan di ranah publik. Fokus
perhatian diarahkan pada wilayah edukasi publik dan aktualisasi serta pengujian
etika lingkungan yang sesuai dengan tuntutan demokrasi, keberlanjutan
sumberdaya alam dan lingkungan, serta kesejahteraan sosial (Smith, 2001,
Legendre, 2004).
5. Revitalisasi dan penguatan sistem‐sistem nafkah komunitas asli‐lokal. Pada
wilayah ini, kajian difokuskan pada pelestarian sumber‐sumber nafkah,
sumberdaya alam, serta lingkungan hidup komunitas lokal. Eksperimentasi
terhadap sistem kelembagaan yang adaptabel/sesuai dengan sistem eko‐sosial
(dan tidak mendistorsi homeostasis lokal) perlu dilakukan dengan seksama dan
sistematis. Melalui tindakan ini livelihooduncertainty dan livelihoodvulnerability
dapat ditekan derajat daya rusaknya, sehingga keberlanjutan (livelihood
sustainability) dapat diwujudkan berjalan hingga jangka waktu yang lebih lama.
Melalui platform pemikiran ini, persoalan kemiskinan dan kerawanan pangan akan
terkikis dengan sendirinya (Ellis, 2000; De Haan, 2000; Dharmawan, 2000).
6. Penajaman kembali agenda penyelamatan budaya asli‐lokal (cultural survival dan
traditional ecological knowledge). Fokus kajian diarahkan pada upaya
pengembangan sistem nilai dan norma‐norma serta tata‐aturan yang digali dari
nilai‐nilai lokal‐asli yang berguna sebagai penjamin berlangsungnya
kesetimbangan pertukaran antara sistem sosial dan sistem ekologi lokal (Abel and
Stepp, 2003).
7. Reformasi struktur eco‐politik dan proses perumusan kebijaksanaan sumberdaya
alam dan sosio‐lingkungan. Dalam hal ini kajian ditujukan pada perhatian
bekerjanya struktur kekuatan‐kekuatan politik pada aras mikro, meso, dan makro
politik yang mempengaruhi lahirnya sebuah kebijakan politik ekologi dan
lingkungan di suatu kawasan. Perhatian juga diarahkan untuk melihat prosesproses
transformasi kekuatan politik, dekonsentrasi dan de‐akumulasi kekuatan
politik di satu kutub dominan dalam setiap perumusan kebijakan lingkungan
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 33
melalui penguatan‐penguatan kekuatan politik lokal (Escobar, 1998; Adger, et. al,
2001; Robbins, 2004).
8. Reformasi Sistem tata‐pemerintahan lingkungan. Dalam hal ini kajian diarahkan
perhatiannya pada pola‐pola restrukturisasi environmental governance yang
selaras dengan tuntutan perkembangan perubahan ekologi global, namun tetap
memegang teguh prinsip‐prinsip sustainability, good ecogovernance, partisipasi
publik, dan apresiasi pada eksistensi sistem sosio‐ekologi lokal (Dharmawan et. al.
2005, Walker, 2006).
9. Penyempurnaan research methodological framework terutama yang melibatkan
lintas dan antar disiplin serta lintas pendekatan dalam penelitian ekologi manusia.
Para peneliti ekologi manusia, sebagaimana peneliti ilmu sosial lain, perlu benarbenar
menyadari eksistensi beragam mazhab riset yang saat ini saling beradupandangan
(rationalism, criticalrationalism, realismempiricism, positivism,
reflexiveconstructivism, hingga ke mazhab participatoryresearch). Pertanyaan
yang perlu dijawab adalah dimanakah seorang peneliti – terutama di bidang
sociology of human ecology – hendak menempatkan posisi‐paradigmatiknya?
Mungkinkah paradigma ganda dapat dikembangkan secara bersama‐sama? (lihat
Brante, 2001; Mauthner and Doucet, 2003).
Ada baiknya jika para ilmuwan ekologi manusia dan sosiologi lingkungan di Indonesia
mengikuti dari dekat perkembangan isyu‐isyu ekologi manusia kontemporer (etikamoral
ekologi, ekologi politik, kebijakan ekologi, ekologi ekonomi, hingga tatapemerintahan
ekologi) di atas, seraya menyusun agenda riset yang terstruktur dan
konstruktif. Sementara itu, beberapa topik/isyu kritikal ekologi manusia klasikal
(antropologi budaya) tetap dan akan terus relevan untuk dikaji pada aras mikro‐lokal.
Beberapa isyu krusial ekologi manusia dalam arti luas yang telah menjadi agenda
global seperti: pencegahan deforestasi, GMO (geneticallymodified organism),
pemanasan global, desertifikasi hutan/lahan, konversi lahan, konflik‐konflik
sumberdaya alam, pelestarian indigenous knowledge, penekanan biodiversity loss,
kemiskinan dan kekurangan pangan, hujan asam, konservasi sumberdaya alam, ecogender
dan feminisasi persoalan lingkungan, survival of the commons. Isyu‐isyu
tersebut akan tetap menjadi isyu‐klasikal yang perlu terus mendapat perhatian.
Demikianlah, ekologi manusia telah berkembang dari hari ke hari menjadi entitas ilmu
yang semakin dinamis (transdisciplinary science). Pada fase awal yaitu saat dilahirkan
oleh antropologi‐budaya, ekologi manusia hanya berurusan dengan penjelasan
struktur dan proses kesetimbangan ekosistem dimana hubungan interaksional
manusia dan alam pada skala mikro‐lokal dikaji secara statis. Pada fase
perkembangan, masuknya konsep‐konsep sosiologi mengubah ekologi manusia
menjadi lebih bernuansa sosiologis (sosiologi lingkungan) dimana instrumen analisis
untuk memahami fenomena alam menjadi lebih kaya dan meluas. Pengenalan konsepkonsep
dan teori‐teori sosiologi dari yang klasikal hingga yang kontemporer seperti:
kelembagaan, struktur sosial, ketimpangan, ketergantungan, sistem dunia, modaproduksi,
gerakan sosial, hingga teori pilihan rasional, dan teori jejaring‐pertukaran
telah memperkaya ruang‐lingkup analisis bidang ilmu ini. Investigasi teoretik‐empirik
34 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
juga tidak hanya terbatas di tataran mikro, melainkan hingga ke aras meso dan makro.
Kajian kontemporer sosiologi ekologi manusia menjelajah pertautan‐pertautan yang
terbentuk antara sistem sosio‐ekologi mikro (komunitas lokal) dan makro global. Pada
fase lanjut, dengan masuknya dimensi ekonomi‐politik telah membuat ekologi
manusia menjadi semakin dinamis dalam menjelaskan konstelasi hubungan politis
antara ”nature versus culture” di berbagai aras. Bagaimana bentuk‐bentuk kekuasaan
dan konflik kepentingan yang dibangun di setiap ”ruang kedaulatan” (negara,
masyarakat sipil, dan pasar) mempengaruhi gerak serta mekanisme pengambilan
keputusan yang berlangsung di antara sistem sosial dan sistem ekologi yang
berinteraksi, dapat dijelaskan dengan baik oleh teori‐teori ekologi‐politik. Ekologi
politik mampu mengkonstruksi peta dan solusi atas munculnya persoalan‐persoalan
ekologi dan sosial melalui pendekatan analisis ”konflik‐kekuasaan” yang dibangun
secara konstruktif. Dengan demikian, kini dapat dikatakan bahwa, ilmu‐ilmu sosial
”berhutang cukup banyak” pada disiplin ekologi manusia dan derivatnya dalam
menjelaskan dinamika ketahanan dan pemanfaatan alam oleh sistem sosial manusia
dalam perjalanannya membangun peradaban.
Daftar Pustaka
Abel, T and Stepp, J. R. 2003. A New Ecosystems Ecology for Anthropology.
Conservation Ecology, Vol. 7/3 (12). http://www.consecol.org/vol7/iss3/art12.
Adger, W. N. et. al. 2001. Advancing a Political Ecology of Global Environmental
Discourses. Development and Change, Vol. 32, pp. 681715.
Beck, U. 1992. Risk Society: Towards a New Modernity. Sage Publication. London.
Berkes, F; Folke, C and Colding, J. 2000. Linking Social and Ecological Systems:
Management Practices and Social Mechanisms for Building Resilience.
Cambridge University Press. Cambridge and New York.
Brante, T. 2001. Consequences of Realism for Sociological Theory‐Building. Journal for
the Theory of Social Behaviour, Vol. 31/2, pp. 167195.
Bromley, D. W. 1992. Making the Commons Work: Theory, Practice and Policy.
Institute of Contemporary Studies. San Francisco.
Brosius, J.P. 1999. Analyses and Interventions: Anthropological Engagements with
Environmentalism. Current Anthropology Vol. 40/3, pp. 277309.
Bryant, R. L. 1998. Power, Knowledge and Political Ecology in the Thrid World.
Progress in Physical Geography 22/1, pp. 7994
Buckles, D. 1999. Cultivating Peace: Conflict and Collaboration in Natural Resources
Management. IDRC and World Bank. Washington D.C.
Buttel, F. H. 1987. New Directions in Environmental Sociology. Annual Review of
Sociology, Vol. 13, pp. 465488.
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 35
Connelly, J and Smith, G. 2003. Politics and the Environment: From Theory to
Practice. 2nd edition. Routledge. London and New York.
De Haan, L. J. 2000. Globalization, Localization, and Sustainable Livelihood.
Sociologia Ruralis, Vol. 40/No.3, pp. 339365
Dharmawan, A. H. 2000. Farm Household Livelihood Strategies and Socio‐economic
Changes in Rural Indonesia. Vauk. Kiel.
Dharmawan, A. H. et. al. 2005. Pembaharuan Tata‐Pemerintahan Lingkungan:
Menciptakan Ruang Kemitraan Negara‐Masyarakat Sipil‐Swasta. PSP3IPB dan
Partnership for Governance Reform in Indonesia. Jakarta.
Diesendorf, M and Hamilton, C. 1997. Human Ecology, Human Economy: Ideas for an
Ecologically Sustainable Future. Allen and Unwin. Riverwood. Australia.
Dobson, A. 1995. Green Political Thought. Second Edition. Routledge. London and
New York.
Doyle, T and McEachern, D. 2001. Environment and Politics, Second Edition.
Routledge. London and New York.
Dryzek, J. S. 1987. Rational Ecology: Environment and Political Economy. Basil
Blackwell. New York.
Dunlap, R. E. and Catton Jr. W. R. 1979. Environmental Sociology. Annual Review of
Sociology, Vol. 5, pp. 243273.
Dunlap, R. E et. al. 2002. Sociological Theory and the Environment: Classical
Foundation, Contemporary Insights. Rowman & Littlefield. Lanham and
Oxford.
Dwivedi, R. 2001. Environmental Movements in the Global South: Issues of Livelihood
and Beyond. International Sociology, Vol. 16/1, pp. 1131.
Ellis, F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford
University Press. Oxford.
Escobar, A. 1998. Whose Knowledge, Whose Nature? Biodiversity, Conservation, and
the Political Ecology of Social Movements. Journal of Political Ecology, Vol. 5,
pp. 5382.
Escobar, A. 1999. After Nature: Steps to an Antiessentialist Political Ecology. Current
Anthropology, Vol. 40/1, pp. 130
Forsyth, T. 2003. Critical Political Ecology: The Politics of Environmental Sciences.
Routledge. London.
Goldman, M. And Schurman, R. A . 2000. “Closing the “Great Divide”: New Social
Theory on Society and Nature”. Annual Review of Sociology, Vol. 26, pp. 563
584.
Harre, R. 1997. Forward to Aristotle: the Case of for a Hybrid Ontology. Journal for
the Theory of Social Behaviour. Vol. 27:2/3, pp. 173191.
36 | Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
Legendre, L. 2004. Science, Culture, and (Eco‐)ethics. Ethics in Science and
Environmental Politics, Vol. May 2004, pp. 1323 (http://www.esep.de).
Little, A. 2000. Environmental and Eco‐Social Rationality: Challenges for Political
Economy in Late Modernity, New Political Economy, Vol. 5/1, pp. 121133.
Marten, G. G. 2001. Human Ecology: Basic Concept for Sustainable Development.
Earthscan. London and Sterling.
Mauthner, N. S. and Doucet, A. 2003. Reflexive Accounts and Accounts of Reflexivity
in Qualitative Data Analysis, Sociology, Vol. 37/3, pp. 413431.
Micklin, M and Poston Jr, D. L. 1998. Continuities in Sociological Human Ecology.
Plenum Press. New York and London.
Ostrom, E. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective
Action. Cambridge University Press. Cambridge and New York.
Quinn, J. A. 1940. Human Ecology and Interactional Ecology. American Sociological
Review, Vol. 5/5, pp. 713722.
Redclift, M and Woodgate, G. 1997. The International Handbook of Environmental
Sociology. Edward Elgar. Cheltenham and Northampton.
Robbins, P. 2004. Political Ecology: A Critical Introduction. Blackwell Publishing.
Malden and Oxford.
Sassen, S. 2004. Local Actors in Global Politics. Current Sociology, Vol. 52/4, pp. 649
670.
Schmidt, V. H. 2001. Oversocialized Epistemology: A Critical Appraisal of
Constructivism. Sociology, Vol. 35/1, pp. 135157.
Smith, M. 2001. The Face of Nature: Environmental Ethics and the Boundaries of
Contemporary Social Theory. Current Sociology, Vol. 49/1, pp. 4965.
Stevis, D. 2000. Whose Ecological Justice. Strategies, Vol. 13/1. pp. 6376.
Taylor, D. E. 2000. The Rise of Environmental Justice Paradigm: Injustice Framing and
the Social Construction of Environmental Discourses. American Behavioral
Scientist, Vol. 43/4, pp. 508580.
Walker, P.A. 2006. Political Ecology: Where is the Policy? Progress in Human
Geography, Vol. 30/3, pp. 382395.
White, D. F. 2004. Environmental Sociology and Its Future(s). Sociology, Vol. 38/2, pp.
389397.
Yearley, 1996. Sociology – Environmentalism – Globalization. Sage. London and
Thousand Oaks.
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1/No. 1 April 2007| 37
Rujukan Tambahan dari Beberapa Website Penting
Center for Political Ecology http://www.centerforpoliticalecology.org
Ecology and Society Journal http://www.ecologyandsociety.org
Human Ecological Review http://www.humanecologyreview.org
International Institute for Environment
and Development
http://www.iied.org
International Institute for Sustainable
Development
http://www.iisd.org
Journal of Political Ecology http://jpe.library.arizona.edu/
Overseas Development Institute http://www.odi.org.uk
Society for Human Ecology http://www.societyforhumanecology.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar