MIC CAIR DAN RESISTENSI
I. TUJUAN
1. Menentukan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) suatu sediaan uji terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif, dengan menggunakan metode MIC Cair.
2. Menentukan kerentanan suatu bakteri terhadap berbagai sediaan antibiotik melalui tes resistensi dengan metoda cakram kertas (Paper Disk Plate).
II. PRINSIP
1. Metoda pengenceran konsentrasi.
2. Adanya kekeruhan yang menunjukan adanya pertumbuhan bakteri yang masih resisten.
3. Kemampuan suatu mikroba untuk membentuk mekanisme pertahanan terhadap suatu antibiotika.
4. Metode cakram kertas (Paper Disk Plate.)
· Kemampuan mikroba untuk membentuk suatu mekanisme pertahanan terhadap antibiotika
· Metode cawan piringan
III. TEORI
Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Literatur lain mendefinisikan antibiotik sebagai substansi yang bahkan di dalam konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan dan reproduksi bakteri dan fungi. ( Koolman & Roehm,2005 )
Penemuan antibiotik terjadi secara 'tidak sengaja' oleh Alexander Fleming, pada tahun 1928, ia menemukan pertumbuhan bakteri yang tidak terjadi disekeliling kapang Penicillium chrysogenum syn. P. notatum Ia lalu mendapat hasil positif dalam pengujian pengaruh ekstrak kapang itu terhadap bakteri koleksinya. Dari ekstrak itu ia diakui menemukan antibiotik alami pertama: penicillin G. ( Hocking,2003 )
Penemuan efek antibakteri dari Penicillium sebelumnya sudah diketahui oleh peneliti-peneliti dari Institut Pasteur di Perancis pada akhir abad ke-19 namun hasilnya tidak diakui oleh lembaganya sendiri dan tidak dipublikasi.
Antibiotika yang akan digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia, harus mememiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, antibiotika tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk manusia. Antibiotika adalah obat yang sangat ampuh dan sangat bermanfaat jika digunakan secara benar. Namun, jika digunakan tidak semestinya antibiotika justru akan mendatangkan berbagai efek yang buruk. Yang harus selalu diingat, antibiotika hanya ampuh dan efektif membunuh bakteri tetapi tidak dapat membunuh virus. Karena itu, penyakit yang dapat diobati dengan antibiotika adalah penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Kemampuan suatu terapi antimikrobial sangat bergantung kepada obat, pejamu, dan agen penginfeksi. Namun dalam keadaan klinik hal ini sangat sulit untuk diprediksi mengingat kompleksnya interaksi yang terjadi di antara ketiganya. Namun pemilihan obat yang sesuai dengan dosis yang sepadan sangat berperan dalam menentukan keberhasilan terapi dan menghindari timbulnya resistansi agen penginfeksi.
Suatu antibiotik mempunyai MIC yang berlainan terhadap bakteri tertentu. Kepekaan antibiotik terhadap mikroba dapat dilihat dari konsentrasi minimum untuk diinhibisi oleh suatu antibiotika terhadap mikroba tertentu. ( Pelczar,1958 )
Penetapan MIC dapat dilakukan dengan menguji sederetan konsentrasi yang dibuat dengan pengenceran, metode yang digunakan dapat dengan cara turbidimetri (dengan melihat kekeruhan) ataupun cara difusi agar. Konsentrasi terendah di mana pertumbuhan bakteri terhambat dinyatakan sebagai konsentrasi minimum untuk inhibisi (MIC).
MIC dari sebuah antibiotika terhadap mikroba digunakan untuk mengetahui sensitivitas dari mikroba terhadap antibiotika. Nilai MIC berlawanan dengan sensitivitas mikroba yang diuji. Semakin rendah nilai MIC dari sebuah antibiotika, sensitivitas dari bakteri akan semakin besar. MIC dari sebuah antibiotika terhadap spesies mikroba adalah rata-rata MIC terhadap seluruh strain dari spesies tersebut. Strain dari beberapa spesies mikroba adalah sangat berbeda dalam hal sensitivitasnya.
Penentuan kepekaan mikroba terhadap antibiotika dilakukan secara in vitro yang dinyatakan dalam MIC dan aktivitas penghambatannya terhadap MIC tersebut. MIC ini tidak dianggap akan setara dengan MIC in vivo karena dalam tubuh manusia terjadi biotransformasi antibiotika, terjadi penguraian atau fiksasi antibiotika pada protein plasma sehingga aktivitas antibiotika akan berkurang. Setiap antibiotika mempunyai sifat farmakokinetik yang berbeda tergantung pada sifat fisikokimianya dan karakteristik fisiologi individual pemakai.
Resistensi bakteri terhadap antibiotika membawa masalah tersendiri yang dapat menggagalkan terapi dengan antibitika. Resistensi dapat merupakan masalah individual dan epidemiologik. Resistensi adalah ketahanan mikroba terhadap antibiotika tertentu yang dapat berupa resistensi alamiah, resistensi karena adanya mutasi spontan (resistensi kromosomal), dan resistensi karena adanya faktor R pada sitoplasma (resistensi ekstrakromosomal) atau resistensi karena pemindahan gen yang resisten atau faktor R atau plasmid (resistensi silang).
Penyebab timbulnya resistensi antibiotika yang terutama adalah karena penggunaan antibiotika yang tidak tepat, tidak tepat sasaran, dan tidak tepat dosis. Tidak tepat sasaran, salah satunya adalah pemberian antibiotika pada pasien yang bukan menderita penyakit infeksi bakteri. Walaupun menderita infeksi bakteri, antibiotika yang diberikan pun harus dipilih secara seksama. ( Jawetz,1996 )
Beberapa mikroba tidak peka terhadap antibiotika tertentu karena sifat mikroba secara alamiah tidak dapat diganggu oleh mikroba tersebut. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya reseptor yang cocok atau dinding sel mikroba tidak dapat ditembus oleh antibiotika. Resistensi kromosomal terjadi karena mutasi spontan pada gen kromosom. Resistensi kromosomal dapat dibagi dalam dua golongan , yaitu :
1. Resistensi kromosomal primer, dimana mutasi terjadi sebelum pengobatan
dengan antibiotika dan selama pengobatan terjadi seleksi bibit yang resisten.
2. Resistensi kromosomal sekunder, dimana mutasi terjadi selama kontak dengan antibiotika kemudian terjadi seleksi bibit yang resisten.
Antibiotika dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Antibiotika golongan aminoglikosid, bekerja dengan menghambat sintesis protein dari bakteri.
2. Antibiotika golongan sefalosporin, bekerja dengan menghambat sintesis peptidoglikan serta mengaktifkan enzim autolisis pada dinding sel bakteri.
3. Antibiotika golongan kloramfenikol, bekerja dengan menghambat sintesis protein dari bakteri.
4. Antibiotika golongan makrolida, bekerja dengan menghambat sintesis protein dari bakteri.
5. Antibiotika golongan penisillin, bekerja dengan menghambat sintesis peptidoglikan.
6. Antibiotika golongan beta laktam, bekerja dengan menghambat sintesis peptidoglikan serta mengaktifkan enzim autolisis pada dinding sel bakteri.
7. Antibiotika golongan kuinolon, bekerja dengan menghambat satu atau lebih enzim topoisomerase yang bersifat esensial untuk replikasi dan transkripsi DNA bakteri.
8. Antibiotika golongan tetrasiklin, bekerja dengan menghambat sintesis protein dari bakteri.
9. Kombinasi antibakteri
10. Antibiotika golongan lain.
Untuk pemilihan antibiotika yang tepat sesuai kebutuhan dan keluhan anda ada baiknya anda harus periksakan diri dan konsultasi ke dokter. ( Kenneth,2008 )
Kecepatan timbulnya resistensi bervariasi untuk berbagai antibiotika. Kelompok aminoglikosida, makrolida, dan rifampisin termasuk kelompok yang cepat menimbulkan resistensi mikroba, sedangkan kelompok tetrasiklin dan kelompok kloramfenikol digolongkan ke dalam kelompok yang tidak terlampau cepat menimbulkan resistensi. Kelompok yang lambat menimbulkan resistensi umumnya karena terjadi mutasi langsung dan kelompok lain umumnya termutasi setelah berkembangbiak beberapa tahap.
TETRASIKLIN
Tetrasiklin pertama kali ditemukan oleh Lloyd Conover. Berita tentang Tetrasiklin yang dipatenkan pertama kali tahun 1955. Tetrasiklin merupakan antibiotika yang memberi harapan dan sudah terbukti menjadi salah satu penemuan antibiotika penting.
Antibiotika golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan adalah Klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofaciens. Kemudian ditemukan Oksitetrasiklin dari Streptomyces rimosus. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari Klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari spesies Streptomyces lain.
Golongan Tetrasiklin termasuk antibiotika yang bersifat bakteriostatik dan bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Golongan Tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotika Tetrasiklin ke dalam ribosom bakteri gram negatif; pertama yang disebut difusi pasif melalui kanal hidrofilik, kedua ialah sistem transportasi aktif. Setelah antibiotika Tetrasiklin masuk ke dalam ribosom bakteri, maka antibiotika Tetrasiklin berikatan dengan ribosom 30s dan menghalangi masuknya komplek tRNA-asam amino pada lokasi asam amino, sehingga bakteri tidak dapat berkembang biak.
Pada umumnya efek antimikroba golongan Tetrasiklin sama (sebab mekanisme kerjanya sama), namun terdapat perbedaan kuantitatif dari aktivitas masing-masing derivat terhadap kuman tertentu. Hanya mikroba yang cepat membelah yang dipengaruhi antibiotika Tetrasiklin.
Staphylococcus aureus
Staphylococcus pertama kali ditemukan oleh Ogston pada tahun 1882 . Nama Staphylococcus berasal dari bahasa yunani Staphyle yang berarti “sekumpulan anggur” dan coccus yang berarti “berry”. Staphylococcus aureus ( S.aureus) merupakan bakteri Gram-positif, non motil dan berukuran diameter kira-kira sekitar 0,5-1,0 μm. S. Aureus akan menghasilkan koloni yang berwarna putih. S.aureus ini sangat terbukti resisten terhadap penisilin.Hal ini dapat dibuktikan pada tahun 1980 di Amerika Serikat sekitar 85% strain S. Aureus resisten terhadap penisilin disebagian rumah sakit di Amerika. Hal ini disebabkan karena sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1946 hingga 1980 tekah terjadi perubahan pada S.aureus. Bakteri ini dapat menghasilkan enzim penisilinase.
S.aureus biasanya menyerang pada kulit terutama pada kulit rambut atau pada jaringan subkutan. S. aureus juga biasa menyerang ke bagian-bagian penting tubuh seperti : lambung , ginjal, otak, dan tulang dapat menyebabkan infeksimetastatik. Bakteri ini juga dapat menyebabkan beberapa infeksi seperti :infeksi pada dada atau payudara, Osteomyeliti,Pneumonia staphylococcal primer dan enterocolitis. ( Doyle,1989)
IV. ALAT DAN BAHAN
4.1. UJI MIC CAIR
1.Alat
a) Inkubator
b) Labu ukur 100 mL
c) Mortir dan stamfer
d) Ose dan lampu spirtus
e) Rak tabung
f) Tabung reaksi besar
g) Tabung reaksi kecil
h) Volume pipet berukuran 1 mL dan 10 mL
2.Bahan
a) Sediaan uji
b) Berbagai Suspensi bakteri Gram positif dan Gram negatif
c) Nutrient Broth (NB)
d) Pelarut sediaan uji
e) Air suling
4.2. UJI RESISTENSI
1.Alat
a) Cawan petri
b) Inkubator
c) Jangka sorong
d) Spirtus
e) Tabung reaksi
2.Bahan
a) Suspensi bakteri uji ( Bacillus subtilis )
b) Nutrient Agar (NA)
c) Berbagai cakram kertas antibiotika dengan kuantum tertentu
V. PROSEDUR
5.1. UJI MIC
Sediaan uji dimasukan ke dalam labu ukur, dilarutkan dengan sedikit pelarutnya. Kemudian air suling steril ditambahkan sampai tanda batas. Jika sediaan uji berbentuk padat, sediaan digerus dahulu dalam mortir, sebelum dimasukkan ke dalam labu ukur. Pengenceran direncanakan dan konsentrasi campuran dihitung pada masing-masing tabung besar dan tabung-tabung kecil. Pengenceran bertingkat larutan sediaan uji dibuat dengan air suling steril dalam tabung-tabung reaksi besar. Tabung reaksi kecil pertama diisi dengan 1 mL NB double strength, sedangkan tabung-tabung reaksi selanjutnya dengan 1 mL NB biasa. 1 mL hasil pengenceran terakhir dipipet ke dalam tabung 1 berisi NB double strength, kocok sampai homogen. 1 mL campuran diipet dari tabung 1 ke tabung 2, lalu dikocok sampai homogen. Langkah tersebut diulangi sampai tabung terakhir. 1 mL campuran dibuang dari tabung terakhir. 1 ose bakteri Eschericia coli ditambahkan ke dalam masing-masing tabung kecil, kocok sampai homogen. Kontrol positif dan 1 kontrol negatif dibuat. Kontrol positif terdiri dari 1 mL NB dan 1 ose bakteri. Kontrol negatif hanya berisi 1 mL NB. Semua tabung kecil diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Kekeruhan yang terjadi diamati lalu dibandingkan dengan kontrol positif dan negatif. MIC nya ditentukan. MIC terletak pada tabung bening terakhir, atau sebelum tabung keruh pertama.
Ambil
1 mL Tabung reaksi besar
I II
Ambi 1 mL
Tb.rx.kecil 1 mL 1 mL 1 mL 1 mL
5.2. UJI RESISTENSI
Suspensi bakteri sebanyak 20 μl dimasukkan ke dalam cawan petri yang sudah berisi nutrient agar yang telah membeku menggunakan mikropipet. Kemudian diulas ke seluruh permukaan agar dalam cawan petri menggunakan spreader. Dibiarkan selama 20 menit., lalu cakram-cakram antibiotik diletakkan pada permukaan agar. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Setelah diinkubasi, zona inhibisi yang terbentuk diukur dengan menggunakan jangka sorong.
Cawan Petri berisi NA
Suspensi Bakteri
Cawan Petri berisi NA dan suspensi bakteri
Ditanamkan Paper disc berisi antibiotik
Diinkubasi, lalu hasilnya dilihat adakah zona bening yang terbentuk di sekeliling paper disc
VI. DATA PENGAMATAN
Data Pengamatan
1. MIC Cair
Pengamatan | Tabung Reaksi | |||||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | |
Kekeruhan | - | - | - | - | - | - |
Keterangan :
(-) : bening
(+) : keruh
Foto Hasil Pengamatan
2. Resistensi
No. | Jenis Antibiotik | Konsentrasi Antibiotik (µg) | Diameter Bacillus subtilis (mm) |
1. | DO | 30 | |
2. | CAR | 100 | |
3. | K | 30 | |
4. | OB | 5 | |
5. | CXM | 30 | |
Foto hasil pengamatan
PERHITUNGAN
Konsentrasi antibiotik pada labu ukur = 250mg/ml
Tabung besar
V1. M1 = V2. M2
1ml. 2500mg/ml = 5. M2
M2 = 500mg/ml
Tabung 1
V1. M1 = V2. M2
1 ml. 500mg/ml = 2ml. M2
M2 = 250 mg/ml
Tabung 2
V1. M1 = V2. M2
1ml. 250mg/ml = 2ml. M2
M2 = 125mg/ml
Tabung 3
V1. M1 = V2. M2
1ml. 125mg/ml = 2ml. M2
M2 = 62,5mg/ml
Tabung 4
V1. M1 = V2. M2
1ml. 62,5mg/ml = 2ml. M2
M2 31,25mg/ml
Tabung 5
V1. M1 = V2. M2
1ml. 31,25mg/ml = 2ml. M2
M2 = 15,625mg/ml
Tabung 6
V1. M1 = V2. M2
1ml. 15,625mg/ml = 2ml. M2
M2 = 7,8125mg/ml
VII. PEMBAHASAN
6.1. UJI MIC
Pada percobaan kali ini, praktikan melakukan pengujian unutk menentukan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) suatu sediaan uji terhadap bakteri dengan menggunakan metode MIC cair. Salah satu zat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri adalah jenis antibiotik. Antibiotik yang digunakan pada percobaan ini adalah tetrasiklin. Sedangkan, untuk sampel bakteri yang akan dihambat pertumbuhannya adalah Bacillus subtilis
Alat-alat yang akan digunakan pada percobaan harus berada dalam keadaan steril. Alat-alat seperti tabung reaksi dan volume pipet harus disterilkan di dalam autoklaf agar semua bakteri mati.
Pertama-tama, antibiotik yang sudah berada di dalam labu ukur berukuran 100ml, diencerkan ke dalam tabung reaksi besar yang sudah berisi 9 ml air. Konsentrasi antibiotik yang tadinya sebesar 2500mg/ml, setelah diencerkan menjadi 250mg/ml dan larutan dikocok sampai homogen. Lalu, dari tabung reaksi besar, larutan antibitok dilakukan pengenceran bertingkat ke sejumlah 6 tabung reaksi kecil. Tabung 1 berisi 1 ml NB double strength. NB double strength ini adalah cairan NB yang konsentrasinya dua kali dari biasanya. Double strength ini dimaksudakan untuk agar pada saat pengenceran ke tabung kedua, konsentrasi antibiotik berasal dari konsentrasi yang sebanding dengan konsentrasi yang tadinya berada dalam labu ukur ke tabung reaksi besar. Untuk tabung-tabung selanjutnya diisi dengan 1 ml NB biasa. Konsentrasi mulai dari tabung 1 sampai tabung 6 secara berturut-turut adalah 7,8125mg/ml, 3,90625mg/ml, 1,953mg/ml, 0,9765mg/ml, 0,488mg/ml, dan 0,244mg/ml.
Sebanyak 1 ml hasil pengenceran pada tabung reaksi besar dipipet ke dalam tabung 1 berisi NB double strength dan dikocok hingga homogen agar merata. Lalu, 1 ml campuran dari tabung 1 ke tabung 2 dipipet dan dikocok hingga homogen, begitu seterusnya sampai tabung ke-6. Tetapi kelompok kami tidak menggunakan double strength. Karena kita memakai 1 ml campuran dari tabung reaksi terakhir kelompok yang lain dan Sebanyak 1 ml campuran dari tabung terakhir dibuang sehingga volume larutan dalam tiap tabung reaksi sama, yakni 1 ml NB biasa dan 1 ml larutan antibiotik. Setelah itu, ke dalam masing-masing tabung yang sudah berisi media pertumbuhan bakteri dan antibiotik, dimasukkan 1 ose bakteri dan dikocok sampai homogen. Pekerjaan harus selalu dilakukan secara aseptis agar tidak ada bakteri lain yang masuk ke dalam wadah percobaan dan praktikan bisa mendapatkan hasil yang diinginkan. Bekerja secara aseptis dapat dilakukan dengan cara selalu mendekatkan alat-alat yang digunakan dengan api yang menyala dan praktikan tidak boleh banyak berbicara.
Setelah perangkat percobaan selesai, praktikan membuat kontrol positif dan kontrol negatif. Hal ini dilakukan agar pada saat pengamatan hasil percobaan bisa dibandingkan dengan kedua kontrol tersebut. Kontrol positif dibuat dari 1 ml NB yang ditempatkan di dalam tabung reaksi. Sedangkan, kontrol negatif dibuat dari 1 ml NB dan 1 ose bakteri. Dalam melakukan prosedur ini, juga harus dilakukan secara hati-hati (dalam arti aseptis) agar bisa menjadi pembanding yang baik pada saat pengamatan hasil percobaan. Setelah semua selesai, tabung-tabung reaksi tadi dimasukkan ke dalam inkubator yang suhunya telah disesuaikan agar bakteri bisa tumbuh. Sampel percobaan diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37°C.
Hasil yang didapatkan pada percobaan kali ini adalah seluruh tabung memberikan hasil yang negatif. Seluruh konsentrasi masing-masing tabung tidak dapat memberikan hasil positif terhadap bakteri Bacillus subtilis. Ini terjadi mungkin dikarenakan kami tidak mengambil pengenceran yang langsung berasal dari DS ( double strength ) sehingga kurang dapat memberikan hasil yang postif pada percobaan kali ini.
6.2. UJI RESISTENSI
Percobaan kali ini dilakukan untuk menentukan kerentanan atau menguji resistensi suatu bakteri terhadap berbagai jenis antibiotik. Bakteri yang digunakan dalam percobaan ini adalah Bacillus subtilis. Bakteri yang digunakan haruslah dari strain murni yaitu yang bukan hasil isolasi dari manusia atau telah mendapat perlakuan oleh antibakteri lainnya. Sedangkan, sediaan antibiotik yang diujikan adalah DO,CAR,OB,K dan CXM. Antibiotik uji tersedia dalam bentuk cakram kertas (paper disc). Setiap tahap dalam percobaan ini dilakukan secara aseptis, didekat api untuk mengindari masuknya kontaminan yang dapat menganggu analisis hasil percobaan.
Tahap awal percobaan dilakukan dengan membagi cawan petri yang telah berisi nutrient agar dibagi menjadi 4 zona berbeda dan ditandai masing-masing sesuai jenis antibiotik yang akan dimasukkan. Nutrient agar sebagai media pertumbuhan bakteri harus dapat mendukung pertumbuhan mikroba yang digunakan dan tidak mengandung zat lainnya yang mengganggu aktifitas dari bakteri. Kemudian, bakteri dimasukkan kedalam cawan petri menggunakan mikropipet dengan kadar sebesar 20 μl. Tidak seperti alat-alat lainnya, bagian pangkal mikropipet tidak perlu difiksasi terlebih dahulu sebelum digunakan, karena terbuat dari bahan plastik yang jika terkena api dikhawatirkan akan rusak. Untuk membuatnya dalam keadaan steril, bagian pangkal mikropipet cukup direndam dengan larutan disinfektan saja.
Suspensi bakteri harus dioleskan dengan merata kedalam Nutrien Agar (NA). Pemerataan suspensi bakteri didalam cawan dilakukan menggunakan spreader. Perlu diingat bahwa spreader terbuat dari bahan logam dan dapat menyerap panas, oleh sebab itu saat spreader dipanaskan harus ditunggu beberapa lama hingga dingin. Untuk mempercepat proses pendinginan, spreader digosok-gosokkan pada dinding bagaian atas cawan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi matinya bakteri oleh spreader yang terlalu panas. Supaya suspensi bakteri dapat berdifusi merata kedalam media, cawan tersebut didiamkan dahulu selama 20 menit. Kemudian, cakram kertas antibiotik dimasukkan kedalam cawan pada 4 zona yang berbeda. Cakram antibiotik dimasukkan kedalam cawan petri dengan menggunakan pinset. Pinset tersebut juga harus dalam keadaan steril oleh sebab itu perlu difiksasi terlebih dahulu. Meletakkan cakram kertas diusahakan agar langsung tepat di tengah agar tidak terjadi pergeseran zona hambat dan agar zona bening yang terbentuk dapat lebih maksimal sehingga mudah untuk diukur. Cakram diletakkan diusakan agar jaraknya tidak yang terlalu dekat satu sama lain, agar tidak terjadi tumpang tindih pada zona inhibisi yang terbentuk.
Setelah dimasukan cakram antibiotik, kemudian cawan petri diinkubasikan menggunakan inkubator selama 24 jam pada suhu optimum pertumbuhan bakteri yaitu 37◦C. menginkubasikan cawan petri tidak dalam posisi terbalik, hal ini dilakukan agar cakram antibiotik tidak jatuh.
Setelah proses inkubasi selesai, dilakukan pengamatan pada zona inhibisi yang terbentuk untuk masing-masing bakteri dan keempat jenis antibiotik. Zona inhibisi yang terbentuk ditandai dengan timbulnya warna bening disekitar cakram antibiotik. Besarnya zona tersebut kemudian diukur menggunakan jangka sorong. Jika terdapat antibiotik yang tidak menimbulkan zona bening, menandakan bahwa bakteri tersebut telah resisten terhadap antibiotik yang diujikan. Besarnya zona bening yang ditimbulkam masing-masing antibiotik tergantung pada kerentanan bakteri terhadap antibiotik tersebut.
Pada bakteri uji Bacillus subtilis, zona inhibisi tampak Dari 5 antibiotik yang diujikan terhadap Bacillus subtilis, semuanya memberikan hasil positif. Pada zona CAR,OB dan CXM zona bening yang terbentuk berukuran kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa daya hambat antibiotic CAR,OB dan CXM terhadap Bacillus subtilis tidak terlalu besar. Pada zona DO dan K terbentuk zona bening dengan ukuran cukup besar.Artinya daya hambat antibiotic tersebut terhadap Bacillus subtilis cukup besar.
VIII. KESIMPULAN
1. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) percobaan rifampisin terhadap Bacillus subtilis dengan menggunakan media nutrient broth adalah negatinf seluruhnya.
2. Dari 5 antibiotik yang diuji, dapat disimpulkan bahwa Bacillus subtilis dapat terinhibisi pertumbuhannya oleh DO, CAR, K, OB, dan CXM.
DAFTAR PUSTAKA
Doyle, MP . 1989. Foodborne Bacterial Pathogens. Marcel Dekker ; New York
Hocking, AD et al. 2003. Foodborne Microorganisms of Public Health Significance . 6th ed. North Sydney North Sydney . AIFST NSW Branch Food Microbiology Group.
Jawetz, E., J. L. Melnick, & L. N. Ornston. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20, alih bahasa: Edi Nugroho & RF Maulany. EGC. Jakarta..
Kenneth, Todar. 2008. http://www.textbookofbacteria.com.//
Koolman J, Roehm KH. 2005. Color atlas of biochemistry 2nd ed. Thieme. New York
Pelczar, M. J. Jr., R. G. Reid. 1958. Microbiology. Mc Graw-Hill Book Company, Inc. London.
Depkes RI. 1995. Farmakologi dan Terapi edisi 4. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta