Rhizobium merupakan bakteri yang mampu mengikat nitrogen dengan membentuk bintil akar pada tanaman kacang – kacangan, (Rahman, 2002).
Dalam fiksasi nitrogen, bakteri melakukan simbiosa mutualistis dengan tanaman (misalnya Leguminosa) membentuk bintil – bintil akar tanaman, bakteri mendapatkan makanannya dari tanaman inangnya, sedang kepentingan nitrogen bagi tanaman itu disediakan oleh bakteri tadi. Hidup bersama antara bakteri dengan tanaman yang saling menguntungkan disebut simbiosa mutualistis, (Mulyani,1996).
Rhizobium yang efektif pada bintil akar, mampu memenuhi seluruh atau sebagian kebutuhan nitrogen bagi tanaman. Berdasarkan kemampuan tersebut, rhizobium memiliki andil yang cukup besar dalam peningkatan produktivitas pertanian, terutama tanaman kacang – kacangan, ( Rahman, 2002).
Menurut dinas pertanian Tingkat II Karo, 2005 bahwa penggunaan pupuk anorganik telah dimulai lima puluhan tahun yang lalu. Untuk meningkatkan produksi, penggunaan pupuk juga selalu ditingkatkan, sehingga telah melewati ambang batas dari yang disarankan oleh dinas pertanian. Akibatnya struktur tanah menjadi rusak, misalnya pH tanah terlalu asam, padat dan berdebu pada saat musim kemarau dan berlumpur di musim hujan sehingga tanaman sulit berkembang, bahkan sering terjadi pembentukan umbi pada akar. Akibatnya produksi turun secara drastis.
Para petani juga menyadari hal ini, sehingga masyarakat petani berusaha beralih menggunakan pupuk organik seperti kotoran hewan, kompos ataupun humus dari hutan – hutan yang ada di sekitarnya. Untuk memperoleh pupuk dalam bentuk kotoran hewan sudah sangat sulit sehingga salah satu alternatif yang mungkin adalah menggunakan humus dari hutan – hutan sekitarnya, (Motsara, 2001).
Penjarahan humus dari hutan juga telah berlangsung lama mengakibatkan humus di hutanpun habis. Terjadinya penjarahan humus ini mengakibatkan fungsi hutan sebagai daerah tangkapan hujan menjadi rusak, ekosistem terganggu sehingga sering terjadi banjir maupun tanah longsor, (Dinas Kehutanan Tingkat II Karo, 2005).
Pada tahun terakhir ini, penggunaan pupuk mikroba dalam bentuk isolat di dalam pembuatan pupuk telah banyak dikembangkan, yang dikenal dengan pupuk mikroba. Penggunaan pupuk mikroba ini tidak menimbulkan pencemaran dan aman untuk dipakai, disamping harga yang relatif lebih murah, (Subba,1994).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian isolat rhizobium yang diisolasi dari bintil akar tanaman kacang tanah ( arachis hypogaea) yang kemudian diaplikasikan pada tanaman jagung di lapangan .
Dalam fiksasi nitrogen, bakteri melakukan simbiosa mutualistis dengan tanaman (misalnya Leguminosa) membentuk bintil – bintil akar tanaman, bakteri mendapatkan makanannya dari tanaman inangnya, sedang kepentingan nitrogen bagi tanaman itu disediakan oleh bakteri tadi. Hidup bersama antara bakteri dengan tanaman yang saling menguntungkan disebut simbiosa mutualistis, (Mulyani,1996).
Rhizobium yang efektif pada bintil akar, mampu memenuhi seluruh atau sebagian kebutuhan nitrogen bagi tanaman. Berdasarkan kemampuan tersebut, rhizobium memiliki andil yang cukup besar dalam peningkatan produktivitas pertanian, terutama tanaman kacang – kacangan, ( Rahman, 2002).
Menurut dinas pertanian Tingkat II Karo, 2005 bahwa penggunaan pupuk anorganik telah dimulai lima puluhan tahun yang lalu. Untuk meningkatkan produksi, penggunaan pupuk juga selalu ditingkatkan, sehingga telah melewati ambang batas dari yang disarankan oleh dinas pertanian. Akibatnya struktur tanah menjadi rusak, misalnya pH tanah terlalu asam, padat dan berdebu pada saat musim kemarau dan berlumpur di musim hujan sehingga tanaman sulit berkembang, bahkan sering terjadi pembentukan umbi pada akar. Akibatnya produksi turun secara drastis.
Para petani juga menyadari hal ini, sehingga masyarakat petani berusaha beralih menggunakan pupuk organik seperti kotoran hewan, kompos ataupun humus dari hutan – hutan yang ada di sekitarnya. Untuk memperoleh pupuk dalam bentuk kotoran hewan sudah sangat sulit sehingga salah satu alternatif yang mungkin adalah menggunakan humus dari hutan – hutan sekitarnya, (Motsara, 2001).
Penjarahan humus dari hutan juga telah berlangsung lama mengakibatkan humus di hutanpun habis. Terjadinya penjarahan humus ini mengakibatkan fungsi hutan sebagai daerah tangkapan hujan menjadi rusak, ekosistem terganggu sehingga sering terjadi banjir maupun tanah longsor, (Dinas Kehutanan Tingkat II Karo, 2005).
Pada tahun terakhir ini, penggunaan pupuk mikroba dalam bentuk isolat di dalam pembuatan pupuk telah banyak dikembangkan, yang dikenal dengan pupuk mikroba. Penggunaan pupuk mikroba ini tidak menimbulkan pencemaran dan aman untuk dipakai, disamping harga yang relatif lebih murah, (Subba,1994).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian isolat rhizobium yang diisolasi dari bintil akar tanaman kacang tanah ( arachis hypogaea) yang kemudian diaplikasikan pada tanaman jagung di lapangan .
AAK ( Aksi Agraris Kanisius), (2000), Kacang Tanah, Cetakan ke – 2, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Dinas Pertanian Tingkat II, (2005), Karo.
Dinas Kehutanan Tingkat II, (2005), Karo.
Gaman & Sherrington, (1992), Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi danMikrobiologi, Edisi ke – 2, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Motsara and Bisoyi, (2001), Corp. Demonstration on Biofertilizer, N.B.D. Center Ghaziabad, UP, New Delhi.
Mulyani, Mul, (1996), Mikrobiologi Tanah, Cetakan ke – 2, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Novizan, (2005), Petunjuk Pemupukan Yang Efektif, Edisi Revisi, Cetakan ke – 6, PT. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Pelczar, Michael.J., (1988), Dasar – Dasar Mikrobiologi, Cetakan ke – 1, Terjemahan Hadioetomo,Ratna,dkk, Penerbit UI, Jakarta.
Rao, Subba,(1994), Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman, Edisi ke – 2, Terjemahan Herawati, Susilo, Penerbit UI, Jakarta.
Schlegel, Hans, (1994), Mikrobiologi Umum, Terjemahan Baskoro, Tedjo, UGM- Press, Yogyakarta.
Sutanto, Rachman, (2002), Penerapan Pertanian Organik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Tilak, (1991), Bacterial Fertilizers, Indian Council of Agricultural Research, New Delhi.
Dinas Pertanian Tingkat II, (2005), Karo.
Dinas Kehutanan Tingkat II, (2005), Karo.
Gaman & Sherrington, (1992), Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi danMikrobiologi, Edisi ke – 2, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Motsara and Bisoyi, (2001), Corp. Demonstration on Biofertilizer, N.B.D. Center Ghaziabad, UP, New Delhi.
Mulyani, Mul, (1996), Mikrobiologi Tanah, Cetakan ke – 2, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Novizan, (2005), Petunjuk Pemupukan Yang Efektif, Edisi Revisi, Cetakan ke – 6, PT. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Pelczar, Michael.J., (1988), Dasar – Dasar Mikrobiologi, Cetakan ke – 1, Terjemahan Hadioetomo,Ratna,dkk, Penerbit UI, Jakarta.
Rao, Subba,(1994), Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman, Edisi ke – 2, Terjemahan Herawati, Susilo, Penerbit UI, Jakarta.
Schlegel, Hans, (1994), Mikrobiologi Umum, Terjemahan Baskoro, Tedjo, UGM- Press, Yogyakarta.
Sutanto, Rachman, (2002), Penerapan Pertanian Organik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Tilak, (1991), Bacterial Fertilizers, Indian Council of Agricultural Research, New Delhi.
Adanya bakteri menyebabkan rambut akar menggulung yang dirangsang oleh IAA. Sejalan dengan masuknya bekteri akar membentuk benang infeksi yang di dalamnya ada bakteri bintil. Benang infeksi terus berkembang sampai di kortek dan mengadakan percabangan. Percabangan ini menyebabkan jaringan kortek membesar yang dapat dilihat sebagai bintil. Di tempat ini terjadi fiksasi N.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan bakteri bintil akar:
1. Sumber makanan (BO dan perakaran). Untuk bertahan sebelum menginfeksi tanaman.
2. Mikroorganisme lain (sbg kompetitor di rizosfir). Terutama yang antagonis, karena dapat menghalangi infeksi.
3. Lingkungan. Mempengaruhi kegiatan fotosintesis untuk menyediakan kebutuhan energi bakteri (cahaya, luas daun, CO2, pembentukan biji/ fase generatif)
4. pH. Yang dikehendaki netral – agak basa.
5. Suhu. Yang disukai 20-28ºC, masing-masing jenis isolat berbeda tanggapnya terhadap suhu.
6. Ketersediaan air dan hara untuk fotosintesis. Karena fotosintat yang dihasilkan tanaman dimanfaatkan oleh bakteri.
7. Senyawa racun. Yang berasal dari herbisida, fungisida di tanah tidak disukai bakteri bintil, dapat berpengaruh terhadap keberadaan bakteri, salinitas.
8. Ketersediaan nutrisi. Seperti N yang bisa menghambat bintil; P untuk suplai energi; Mo untuk kerja nitrogenase, Fe dan Co untuk laghemoglobin dan transfer elektron.
9. Kesesuian genetik antara bakteri dengan tanaman (untuk keperluan infeksi).
Pada proses isolasi yang kita inginkan adalah memisahkan bakteri yang efektif dari koloninya. Untuk mengetahui efektif atau tidaknya suatu koloni bakteri yang diisolasi maka kita dapat menggunakan media YMA (Yeast Manitol Agar) yang ditambah dengan Bromtimol Red. Selama proses inkubasi setelah inokulasi diharapkan berada di ruang gelap selama beberapa hari sampai bakteri tumbuh. Jika yang bakteri yang tumbuh tersebut berwarna bening atau transparan maka bakteri tersebut efektif dalam memfixasi N dalam bintil akar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar