Kamis, 10 November 2011

masalah keamanan

Indonesia Tolak Konsep Keamanan Baru Australia



Jakarta, Kompas - Pemerintah Indonesia secara tegas menolak konsep keamanan
baru yang diumumkan Perdana Menteri Australia John Howard, Rabu lalu, yang
disebut dengan Australian Maritime Indentification Zone (AMIZ). Gagasan terbaru
Australia yang dimaksudkan untuk meningkatkan keamanan dalam negeri, serta
melindungi tambang minyak dan gas lepas pantai miliknya, dipastikan akan
berbenturan dengan hak-hak Indonesia sebagai negara berdaulat.

AMIZ juga jelas-jelas bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut Internasional
(1982) dimana baik Australia maupun RI sama-sama menjadi pihakdalam konvensi
tersebut.

Sikap tegas RI itu disampaikan Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda,
seusai bertemu dengan Menteri Pertahanan Australia, Robert Hill, Kamis (16/11)
di Jakarta.

Sikap senada namun dalam bahasa lebih lunak disampaikan Panglima TNI Jenderal
Endriartono Sutarto. Menurut Panglima, Pemerintah Australia akan jauh lebih
baik jika meningkatkan upaya kerja sama dan kegiatan bersama Indonesia di
wilayah perbatasan laut kedua negara.

Panglima TNI yang sempat juga bertemu dengan Menteri Pertahanan Australia,
menambahkan, dengan peningkatan kegiatan bersama maka kedua negara akan
bersama-sama memperoleh keuntungan dalam upaya pengamanan wilayah
masing-masing. Hal seperti itu bisa dilakukan tanpa harus mengurangi kedaulatan
dan kehormatan masing-masing.

Melanggar kedaulatan

Menlu menjelaskan, dari bacaan terhadap media rilis yang dikeluarkan Australia,
Rabu, dan juga dari apa yang disampaikan Robert Hill, Indonesia melihat potensi
konsep ini bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut tahun 1982, dimana Indonesia
dan Australia menjadi pihak didalamnya.

"Dengan konsep AMIZ ini, Australia ingin menguatkan, melindungi keamanan
instalasi pada minyak dan gas mereka, yang memang menurut ketentuan hukum
internasional itu sah. Tetapi tidak menurut yurisdiksi negara, apalagi jika
offshore oil facilities itu berada di luar wilayah, dalam hal ini berada di
landas kontinen Australia, maka yurisdiksinya hanya sebatas 500 meter diluar
instalasi itu," ujar Menlu.

Selain itu, lanjut Hassan, fokus dari konsep ini adalah untuk menguatkan daya
pantau Australia, memonitor gerak kapal-kapal asing, termasuk untuk bisa tahu
dan mengidentifikasi kapal, kargo yang dibawa, tujuan ke pelabuhan mana. Mereka
memang memaksudkan daya pantau ini menjangkau 1.000 mil laut, diukur dari
pantai Australia.

"Kalau dilihat dalam peta maka 1.000 mil laut itu akan menjangkau Laut
Halmahera di Maluku, Laut Sulawesi di atas Manado, sebagian besar Laut Jawa.
Karena laut-laut ini sebagian besar adalah laut yang kita sebut sebagai
perairan kepulauan, maka menurut Konvensi Hukum Laut Internasional, di atas
laut-laut itu dan laut territorial, kita mempunyai kedaulatan penuh. Walaupun
namanya pemantauan, pemantauan itu adalah bagian dari yurisdiksi. Karena itu
akan bertentangan dengan yurisdiksi kita yang mutlak, kedaulatan kita di atas
laut-laut tadi. Maka tadi saya katakan, tidak bisa kita terima konsep itu,"
tegas Menlu sambil menambahkan bahwa konsep itu belum pernah dikonsultasikan
sebelumnya.

Dia menambahkan, lebar bagian laut di antara pantai utara Australia dengan
pantai bagian selatan di Pulau Timor dan Arafura, tidak lebih dari 400 mil
laut. Oleh karena itu, garis batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), persis di
garis tengah.

"Potensi dari konsep AMIZ akan bertabrakan dengan kewenangan-kewenangan kita,
tidak hanya dari 1000 mil laut, tetapi juga di utara Pantai Australia konsep
ini bersinggungan dengan hak kewenangan kita di atas wilayah ZEE kita. Jadi
dengan pertemuan tadi, senator Hill menjamin bahwa AMIZ itu tidak dimaksudkan
dengan klaim sejauh itu, tetapi juga ketika saya tampilkan berbagai ketentuan
hukum internasional, mereka meminta waktu untuk memberikan jawaban-jawaban atas
pertanyaan kita," ungkap Hassan sambil menambahkan bahwa pihak Australia
menjanjikan akan memberikan jawaban secepatnya, serta tidak akan memaksakan
segera menerapkan konsep AMIZ itu.

Ketika ditanya Kompas mengenai AMIZ, Menhan Australia menyatakan, Australia
berusaha mengidentifikasi kapal-kapal yang menuju pelabuhan-pelabuhan di
Australia, lebih awal dari apa yang sekarang ini kami lakukan. "Kapal-kapal
yang akan datang ke Australia untuk mengidentifikasikan dirinya lebih awal,
barang apa yang mereka bawa, sehingga kami lebih puas sebelum mereka sampai ke
pelabuhan Australia, bahwa tidak ada tujuan yang tidak baik," katanya.

Akan tetapi ketika ditanya lebih jauh mengenai pertentangan konsep tersebut
dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut Internasional, Hill tidak menjawabnya.

Selain Indonesia, sebagaimana dilaporkan The Age, Selandia Baru yang akan
terkena dampak konsep keamanan baru itu juga meminta klarifikasi segera dari
pemerintah Australia atas konsep AMIZ itu. Selandia Baru selama ini tidak
pernah diberitahu mengenai konsep itu, sehingga terkejut dan juga bingung
memahami konsep baru tersebut.

Peringatan terorisme

Mengenai peringatan akan terjadinya serangan teroris di Indonesia dalam waktu
dekat ini, Menlu menilai, peringatan perjalanan seperti itu sudah menjadi suatu
kebiasaan Australia menjelang akhir tahun ataupun kegiatan-kegiatan besar
lainnya di Indonesia.

"Kalau Australia memiliki informasi yang kredibel, kenapa tidak diberikan
kepada polisi kita. Padahal kan kerja sama kepolisian kita dengan Australia
begitu bagus," papar Hassan sambil menambahkan bahwa keberatan Indonesia atas
pengumuman Australia itu sudah disampaikan.

Mengenai travel warning , Menhan Australia, mengungkapkan, pemerintah mempunyai
kewajiban bahwa ketika mereka meyakini adanya ancaman, maka pemerintah wajib
menginformasikan adanya ancaman itu kepada seluruh warga Australia. "Kami tidak
menyarankan agar warga Australia meninggalkan Indonesia. Itu pengertian terlalu
jauh dari apa yang kami sampaikan. Kami hanya menyampaikan agar adanya ancaman
itu hendaknya menjadi pertimbangan bagi warga Australia," jelas Hill. (DWA/OKI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar